Selasa, 03 Agustus 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 1995
TENTANG
CUKAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan
nasional, khususnya di bidang perekonomian;
b. bahwa peraturan perundang-undangan cukai yang selama ini dipergunakan sebagai dasar pemungutan cukai,
sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan perekonomian nasional;
c. bahwa dasar hukum pemungutan cukai yang berlaku selama ini, terdiri dari beberapa ordonansi yang memberi
perlakuan berbeda-beda dalam pengenaan cukainya, sehingga kurang mencerminkan asas keadilan dan belum
dapat memanfaatkan potensi objek cukai yang ada secara optimal serta kurang memperhatikan aspek
perlindungan masyarakat;
d. bahwa oleh karena itu perlu dibentuk undang-undang tentang cukai yang berorientasi pada pembangunan
nasional serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2), Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG CUKAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
2. Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya,
yang dipergunakan untuk menghasilkan Barang Kena Cukai dan/atau untuk mengemas Barang Kena Cukai
dalam kemasan untuk penjualan eceran.
3. Pengusaha Pabrik adalah orang yang mengusahakan Pabrik.
4. Tempat Penyimpanan adalah tempat, bangunan, dan/atau lapangan yang bukan merupakan bagian dari Pabrik,
yang dipergunakan untuk menyimpan Barang Kena Cukai berupa etil alkohol yang masih terutang cukai dengan
tujuan untuk disalurkan, dijual atau diekspor.
5. Pengusaha Tempat Penyimpanan adalah orang yang mengusahakan Tempat Penyimpanan.
6. Tempat Penjualan Eceran adalah tempat untuk menjual secara eceran Barang Kena Cukai kepada konsumen
akhir.
7. Dokumen cukai adalah dokumen yang digunakan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini, dalam bentuk
formulir atau melalui media elektronik.
8. Orang adalah badan hukum atau orang pribadi.
9. Kantor adalah Kantor Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di
bidang kepabeanan dan cukai.
11. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
13. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu
untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-undang ini.
14. Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan
itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan dan pengeluarannya.
15. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang
digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang untuk dijual dengan
mendapatkan penangguhan bea masuk.
16. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-undang tentang Kepabeanan.
Pasal 2
(1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dikenai cukai berdasarkan
Undang-undang ini.
(2) Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai Barang Kena Cukai.
Pasal 3
(1) Pengenaan cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat dan
untuk Barang Kena Cukai yang diimpor pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan
ketentuan Undang-undang tentang Kepabeanan.
(2) Tanggung jawab cukai untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia berada pada Pengusaha Pajak atau
Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk Barang Kena Cukai yang diimpor berada pada Importir atau pihakpihak
lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepabeanan.
(3) Pemenuhan ketentuan dalam Undang-undang ini dilakukan dengan menggunakan dokumen cukai dan/atau
dokumen pelengkap cukai.
BAB II
BARANG KENA CUKAI, TARIF CUKAI,
DAN HARGA DASAR
Bagian Pertama
Barang Kena Cukai
Pasal 4
(1) Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari:
a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang
digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau
lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam
pembuatannya.
(2) Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Tarif Cukai
Pasal 5
(1) Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya:
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual
Pabrik; atau
b. lima puluh lima persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(2) Barang Kena Cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya:
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Nilai Pabean
ditambah Bea Masuk; atau
b. lima puluh lima persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi
jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan Barang Kena Cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Bagian Ketiga
Harga Dasar
Pasal 6
(1) Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia adalah
Harga Jual Pabrik atau Harga Jual Eceran.
(2) Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas Barang Kena Cukai yang diimpor adalah Nilai
Pabean ditambah Bea Masuk atau Harga Jual Eceran.
(3) Ketentuan tentang penetapan Harga Dasar diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB III
PELUNASAN DAN FASILITAS
Bagian Pertama
Pelunasan Cukai
Pasal 7
(1) Cukai atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Cukai
dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan.
(2) Cukai atas Barang Kena Cukai yang diimpor dilunasi pada saat Barang Kena Cukai diimpor untuk dipakai.
(3) Pelunasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan cara:
a. pembayaran; atau
b. pelekatan pita cukai.
(4) Pita cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disediakan oleh Menteri.
(5) Dalam hal pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai, cukai dianggap tidak dilunasi apabila pelekatan
pita cukai tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
(6) Pengusaha Pabrik atau Importir yang melunasi cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, dapat diberi
penundaan pembayaran cukai atas pemesanan pita cukai selama-lamanya tiga bulan sejak dilakukan pemesanan
pita cukai.
(7) Pengusaha Pabrik atau Importir yang melunasi cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang tidak melunasi
uang cukai sampai dengan jangka waktu penundaan berakhir, selain harus melunasi utang cukai dimaksud juga
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar sepuluh persen setiap bulan dari nilai cukai yang seharusnya
dibayar.
(8) Ketentuan tentang pelunasan cukai diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Fasilitas
Paragraf 1
Tidak dipungut Cukai
Pasal 8
(1) Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap:
a. tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan
eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan,
apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri
atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya
ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu;
b. minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di
Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan
eceran.
(2) Cukai juga tidak dipungut atas Barang Kena Cukai apabila:
a. diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean;
b. diekspor;
c. dimasukkan ke dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan;
d. digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan
Barang Kena Cukai;
e. telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik, Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan
persetujuan impor untuk dipakai.
(3) Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap orang yang melanggar ketentuan
tentang tidak dipungutnya cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda
paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
(4) Ketentuan tentang pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Paragraf 2
Pembebasan Cukai
Pasal 9
(1) Pembebasan cukai dapat diberikan atas Barang Kena Cukai:
a. yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan
merupakan Barang Kena Cukai;
b. untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan
asas timbal balik;
d. untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di
Indonesia;
e. yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau kiriman dari luar negeri dalam
jumlah yang ditentukan;
f. yang dipergunakan untuk tujuan sosial;
g. yang dimasukkan ke dalam Tempat Penimbunan Berikat.
(2) Pembebasan cukai dapat juga diberikan atas Barang Kena Cukai tertentu yaitu:
a. etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau, yang dikonsumsi oleh penumpang dan awak
sarana pengangkut yang berangkat langsung ke luar Daerah Pabean.
(3) Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap orang yang melanggar ketentuan
tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi
berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang seharusnya
dibayar.
(4) Ketentuan tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
BAB IV
PENAGIHAN, PENGEMBALIAN, DAN KEDALUWARSA
Bagian Pertama
Penagihan
Pasal 10
(1) Direktur Jenderal melakukan penagihan terhadap:
a. utang cukai yang tidak dilunasi pada waktunya;
b. kekurangan cukai karena kesalahan perhitungan dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita cukai;
c. denda administrasi.
(2) Cukai dan denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi selambat-lambatnya dalam waktu
empat belas hari setelah tanggal diterimanya surat tagihan.
(3) Ketentuan tentang tata cara penagihan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Tagihan negara berdasarkan undang-undang ini mempunyai hak mendahulu atas segala tagihan terhadap harta
yang berutang.
(2) Hal mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap:
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak ataupun tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3) Hak mendahului sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang setelah lampau waktu dua tahun sejak
dikeluarkannya Surat Tagihan, kecuali apabila dalam jangka waktu tersebut diberikan penundaan pembayaran.
(4) Apabila diberikan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu dua tahun itu
harus ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.
Bagian Kedua
Pengembalian
Pasal 12
(1) Pengembalian cukai yang telah dibayar diberikan dalam hal:
a. terdapat kelebihan pembayaran karena kesalahan-kesalahan;
b. Barang Kena Cukai diekspor;
c. Barang Kena Cukai dimasukkan kembali ke Pabrik untuk dimusnahkan atau diolah kembali;
d. Barang Kena Cukai mendapatkan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
e. pita cukai yang telah diterima dan belum dilekatkan oleh Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena
Cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, dikembalikan karena pita cukai tersebut
rusak atau tidak dipakai atau Barang Kena Cukai yang telah dilekati pita cukai tidak jadi diimpor;
f. terdapat kelebihan pembayaran sebagai akibat putusan lembaga banding sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44.
(2) Pengembalian cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya tiga puluh hari sejak
ditetapkannya kelebihan pembayaran.
(3) Apabila pengembalian dilakukan setelah jangka waktu tiga puluh hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah memberikan bunga dua persen sebulan, dihitung setelah jangka waktu tersebut berakhir sampai
dengan saat dilakukan pengembalian.
(4) Ketentuan tentang pengembalian cukai diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa
Pasal 13
(1) Hak menagih utang berdasarkan undang-undang ini menjadi kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak timbulnya
kewajiban membayar.
(2) Masa kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal ada pengakuan
utang.
BAB V
PERIZINAN
Pasal 14
(1) Untuk menjalankan usaha sebagai:
a. Pengusaha Pabrik; atau
b. Pengusaha Tempat Penyimpanan; atau
c. Pengusaha Tempat Penjualan Eceran Barang Kena Cukai tertentu; atau
d. Importir Barang Kena Cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, masing-masing
wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di Indonesia; atau
b. badan hukum atau orang pribadi yang secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang
berkedudukan di luar Indonesia.
(3) Dalam hal pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah orang pribadi, apabila yang
bersangkutan meninggal dunia, izin dapat dipergunakan selama dua belas bulan sejak tanggal meninggal yang
bersangkutan oleh ahli waris atau yang dikuasakan dan setelah lewat jangka waktu tersebut, izin wajib
diperbaharui.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut dalam hal:
a. atas permohonan pemegang izin yang bersangkutan;
b. tidak dilakukan kegiatan selama satu tahun;
c. persyaratan perizinan tidak lagi dipenuhi;
d. pemegang izin tidak lagi secara sah mewakili badan hukum atau orang pribadi yang berkedudukan di luar
Indonesia;
e. pemegang izin dinyatakan pailit;
f. tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
g. pemegang izin dipidana berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melanggar ketentuan Undang-undang ini;
h. pemegang izin melanggar ketentuan Pasal 30.
(5) Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut, terhadap Barang Kena Cukai yang belum dilunasi
cukainya yang masih berada di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan harus dilunasi cukainya dan
dikeluarkan dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan dalam waktu tiga puluh hari sejak diterimanya surat
keputusan pencabutan izin.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku untuk pengusaha Tempat Penjualan Eceran
Barang Kena Cukai tertentu.
(7) Barangsiapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjalankan usaha Pabrik, Tempat
Penyimpanan, Tempat Penjualan Eceran Barang Kena Cukai tertentu, atau mengimpor Barang Kena Cukai
yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(8) Ketentuan tentang pemberian izin dan pencabutan izin diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pembuatan Barang Kena Cukai berupa hasil tembakau dapat diizinkan dilakukan di luar Pabrik dan merupakan
tanggung jawab Pengusaha Pabrik yang bersangkutan.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VI
PENCATATAN DAN PENCACAHAN
Bagian Pertama
Pencatatan
Pasal 16
(1) Pengusaha Pabrik wajib:
a. mencatat dalam Buku Persediaan mengenai Barang Kena Cukai yang dibuat di Pabrik, dimasukkan ke
Pabrik atau dikeluarkan dari Pabrik;
b. memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang Barang Kena Cukai yang selesai dibuat.
(2) Pengusaha Tempat Penyimpanan wajib mencatat dalam Buku Persediaan mengenai Barang Kena Cukai yang
dimasukkan ke atau dikeluarkan dari Tempat Penyimpanan.
(3) Pengusaha Pabrik yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
Pengusaha Tempat Penyimpanan yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar satu kali nilai cukai dari Barang Kena Cukai yang tidak
dicatat.
(4) Pengusaha Pabrik yang tidak melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar satu kali nilai cukai dari Barang Kena Cukai yang tidak diberitahukan.
(5) Ketentuan tentang Buku Persediaan dan pemberitahuan Barang Kena Cukai yang selesai dibuat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Pejabat Bea dan Cukai wajib menyelenggarakan Buku Rekening Barang Kena Cukai untuk setiap Pengusaha
Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan mengenai Barang Kena Cukai tertentu yang masih terutang cukai
dan berada di Pabrik atau Tempat Penyimpanan.
(2) Pejabat Bea dan Cukai mencatat Barang Kena Cukai yang masih terutang cukai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 25 ayat (1) atau ayat (3) ke dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai.
(3) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan bertanggung jawab atas utang cukai dari Barang Kena
Cukai yang ada menurut Buku Rekening Barang Kena Cukai.
Pasal 18
(1) Buku Rekening Barang Kena Cukai ditutup pada setiap akhir tahun takwim.
(2) Buku Rekening Barang Kena Cukai juga ditutup setelah dilakukan pencacahan atau atas permintaan
Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan.
(3) Ketentuan tentang Buku Rekening Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
serta dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Pejabat Bea dan Cukai wajib menyelenggarakan Buku Rekening Kredit untuk setiap Pengusaha Pabrik atau
Importir mengenai cukai yang mendapatkan penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) dan
pelunasan atau penyelesaiannya.
(2) Ketentuan tentang Buku Rekening Kredit diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pencacahan
Pasal 20
(1) Barang Kena Cukai tertentu yang ada dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan setiap waktu dapat dicacah oleh
Pejabat Bea dan Cukai.
(2) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan wajib menunjukkan semua Barang Kena Cukai yang
ada di dalam tempat yang dimaksud pada ayat (1), serta menyediakan tenaga dan peralatan untuk keperluan
pencacahan.
(3) Ketentuan tentang pencacahan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 21
(1) Dalam hal jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kedapatan lebih kecil daripada
jumlah yang tercantum dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai, kepada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha
Tempat Penyimpanan diberikan potongan setinggi-tingginya sepuluh persen dari jumlah Barang Kena Cukai
yang dihasilkan atau dimasukkan sejak pencacahan terakhir.
(2) Potongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikurangkan dari selisih antara hasil pencacahan dengan Buku
Rekening Barang Kena Cukai, dan sisanya merupakan kekurangan yang cukainya harus dilunasi oleh
Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan dalam waktu tiga puluh hari setelah tanggal penutupan
Buku Rekening Barang Kena Cukai.
(3) Ketentuan tentang jenis Barang Kena Cukai yang dapat diberikan potongan dan besarnya potongan diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
Pasal 22
Potongan tidak diberikan apabila jumlah hasil pencacahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kedapatan sama
atau lebih besar daripada jumlah sediaan yang tercantum dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai.
Pasal 23
(1) Kekurangan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) diberikan kelonggaran yang
besarnya tidak melebihi satu persen dari jumlah Barang Kena Cukai yang seharusnya ada menurut Buku
Rekening Barang Kena Cukai.
(2) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang di dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanannya
kedapatan kekurangan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) atau kelebihan
Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang melebihi kelonggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan
paling sedikit dua kali nilai cukai dari Barang Kena Cukai yang kedapatan kurang atau lebih.
BAB VII
PENIMBUNAN
Pasal 24
(1) Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya dapat ditimbun dalam Tempat Penimbunan Sementara atau
Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepabeanan.
(2) Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya yang dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong
dapat ditimbun dalam Pabrik.
(3) Ketentuan tentang penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
BAB VIII
PEMASUKAN, PENGELUARAN,
PENGANGKUTAN, DAN PERDAGANGAN
Bagian Pertama
Pemasukan dan Pengeluaran
Pasal 25
(1) Pemasukan atau pengeluaran Barang Kena Cukai ke atau dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan, wajib
diberitahukan kepada Kepala Kantor dan dilindungi dengan dokumen cukai.
(2) Pemasukan atau pengeluaran Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di
bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
(3) Dalam hal pemasukan atau pengeluaran Barang Kena Cukai di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai, yang
menjadi dasar untuk membukukan dalam Buku Rekening Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 adalah yang didapati oleh Pejabat Bea dan Cukai yang bersangkutan.
(4) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang mengeluarkan Barang Kena Cukai dari Pabrik
atau Tempat Penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar satu kali nilai cukai dari Barang Kena Cukai yang dikeluarkan.
(5) Ketentuan tentang pemasukan atau pengeluaran Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 26
(1) Dalam keadaan darurat, Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya dapat dipindahkan ke luar Pabrik
atau Tempat Penyimpanan tanpa dilindungi dokumen cukai.
(2) Pemindahan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilaporkan kepada Kepala
Kantor dalam jangka waktu yang ditetapkan.
(3) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang tidak melaporkan pemindahan Barang Kena
Cukai yang belum dilunasi cukainya karena keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai
sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(4) Ketentuan tentang pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengangkutan dan Perdagangan
Pasal 27
(1) Pengangkutan Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya harus dilindungi dengan dokumen cukai.
(2) Pengangkutan Barang Kena Cukai tertentu, walaupun sudah dilunasi cukainya, harus dilindungi dengan
dokumen cukai.
(3) Barangsiapa tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan Barang Kena Cukai yang belum dilunasi
cukainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh
kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
(4) Barangsiapa tidak memenuhi ketentuan tentang pengangkutan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(5) Ketentuan tentang pengangkutan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 28
Jangka waktu yang telah ditentukan dalam dokumen cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau ayat
(2), sebelum dilampaui dapat diperpanjang masa berlakunya oleh Kepala Kantor yang mengawasi tempat Barang
Kena Cukai bersangkutan berada.
Pasal 29
(1) Barang Kena Cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai hanya boleh ditawarkan,
diserahkan, dijual, atau disediakan untuk dijual, setelah dikemas untuk penjualan eceran dan dilekati pita cukai
yang diwajibkan.
(2) Barang Kena Cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang berada dalam Tempat
Penjualan Eceran atau tempat lain yang kegiatannya adalah untuk menjual eceran dianggap disediakan untuk
dijual.
(3) Ketentuan tentang perdagangan Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IX
LARANGAN
Pasal 30
(1) Di dalam Pabrik dilarang menghasilkan barang selain Barang Kena Cukai yang ditetapkan dalam surat izin yang
bersangkutan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap:
a. Pabrik etil alkohol yang memproduksi secara terpadu barang lain yang bukan merupakan Barang Kena
Cukai dengan menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong;
b. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap:
a. Pabrik etil alkohol yang memproduksi secara terpadu barang lain yang bukan merupakan Barang Kena
Cukai dengan menggunakan etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong;
b. Pabrik Barang Kena Cukai selain etil alkohol yang menghasilkan barang lainnya yang bukan Barang
Kena Cukai, sepanjang di dalam Pabrik tersebut dilakukan pemisahan secara fisik antara Barang Kena
Cukai dan bukan Barang Kena Cukai, baik dalam produksinya maupun tempat penimbunan bahan
baku atau bahan penolong dan hasil produksi akhirnya.
Pasal 31
(1) Di dalam Tempat Penyimpanan dilarang:
a. menyimpan Barang Kena Cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai;
b. menyimpan barang selain Barang Kena Cukai yang ditetapkan dalam surat izin bersangkutan.
(2) Barang Kena Cukai yang telah dilunasi cukainya atau yang mendapatkan pembebasan cukai yang kedapatan
berada di dalam Tempat Penyimpanan dianggap belum dilunasi cukainya atau tidak mendapatkan pembebasan
cukai.
(3) Pengusaha Tempat Penyimpanan yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 32
(1) Di dalam Pabrik, tempat usaha Importir, dan Tempat Penjualan Eceran Barang Kena Cukai yang pelunasan
cukainya dengan cara pelekatan pita cukai dilarang:
a. menyimpan atau menyediakan pita cukai yang telah dipakai;
b. menyimpan atau menyediakan pengemas Barang Kena Cukai yang telah dipakai dengan pita cukai yang
masih utuh.
(2) Pengusaha Pabrik, Importir atau pengusaha Tempat Penjualan Eceran Barang Kena Cukai yang pelunasan
cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua
kali nilai cukai dari pita cukai yang kedapatan telah dipakai atau masih utuh.
BAB X
KEWENANGAN DI BIDANG CUKAI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 33
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang mengambil tindakan yang diperlukan atas Barang Kena Cukai berupa
penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk melaksanakan Undang-undang ini.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang menegah Barang Kena Cukai dan/atau sarana pengangkut.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pejabat Bea dan Cukai
dapat dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Ketentuan tentang tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta bantuan
angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya.
(2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), angkatan bersenjata dan/atau instansi lainnya
berkewajiban untuk memenuhinya.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Bangunan dan Sarana Pengangkut
Pasal 35
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas Pabrik, Tempat Penyimpanan atau tempattempat
lain yang digunakan untuk menyimpan Barang Kena Cukai yang belum dilunasi cukainya atau
memperoleh pembebasan cukai.
(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas bangunan atau tempat lain yang secara
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk memeriksa Tempat Penjualan Eceran atau tempat-tempat lain yang
bukan rumah tinggal yang di dalamnya terdapat Barang Kena Cukai.
(4) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pejabat Bea dan
Cukai berwenang mengambil contoh Barang Kena Cukai.
(5) Barangsiapa menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 36
(1) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan atau orang yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan,
wajib menyediakan tenaga, peralatan dan menyerahkan catatan atau dokumen yang wajib diadakan berdasarkan
Undang-undang ini dan pembukuan perusahaan.
(2) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan atau orang yang terhadapnya dilakukan pemeriksaan
yang tidak menyediakan tenaga atau peralatan atau tidak menyerahkan catatan, dokumen atau pembukuan
perusahaan pada waktu dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi
administrasi berupa denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 37
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta Barang Kena
Cukai yang berada di atasnya.
(2) Pengangkut wajib menunjukkan dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai yang diwajibkan menurut
Undang-undang ini.
(3) Sarana pengangkut yang disegel oleh dinas pos atau penegak hukum lain, dikecualikan dari pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Barangsiapa menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pengangkut yang tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 38
(1) Pemeriksaan atas bangunan atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 harus dengan surat perintah
dari Direktur Jenderal.
(2) Surat Perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan untuk melakukan:
a. pengejaran orang dan/atau Barang Kena Cukai yang memasuki bangunan;
b. pemeriksaan bangunan atau tempat lain oleh Pejabat Bea dan Cukai yang secara tetap ditunjuk untuk
melakukan pengawasan atas bangunan atau tempat lain.
Pasal 39
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang memeriksa buku, catatan, atau dokumen yang diwajibkan oleh Undangundang
ini dan pembukuan perusahaan yang berkaitan dengan Barang Kena Cukai serta sediaan Barang Kena
Cukai dari Pabrik, Tempat Penyimpanan atau tempat-tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 untuk
keperluan audit di bidang cukai.
(2) Barangsiapa menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa benda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Bagian Ketiga
Penyegelan
Pasal 40
Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang
diperlukan pada bagian-bagian dari Pabrik, Tempat Penyimpanan, Tempat Penjualan Eceran, tempat-tempat lain
atau sarana pengangkut yang di dalamnya terdapat Barang Kena Cukai guna pengamanan cukai.
BAB XI
KEBERATAN, BANDING, DAN LEMBAGA BANDING
Bagian Pertama
Keberatan dan Banding
Pasal 41
(1) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan dapat mengajukan sarana tertulis hanya kepada
Direktur Jenderal atas hasil penutupan Buku Rekening Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah tanggal penutupan, dengan menyerahkan jaminan sebesar cukai
yang kurang dibayar.
(2) Orang yang dikenai sanksi administrasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur
Jenderal dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dengan menyerahkan
jaminan sebesar sanksi administrasi yang ditetapkan.
(3) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu
enam puluh hari sejak diterimanya keberatan.
(4) Apabila dalam jangka waktu enam puluh hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak
memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap diterima dan jaminan dikembalikan.
(5) Apabila Direktur Jenderal memutuskan menerima keberatan yang diajukan, jaminan dikembalikan.
(6) Dalam hal jaminan berupa uang tunai, apabila pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) dilakukan setelah jangka waktu enam puluh hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah
memberikan bunga dua persen sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan.
(7) Apabila Direktur Jenderal memutuskan menolak keberatan yang diajukan, jaminan dicairkan dan cukai dan/atau
sanksi administrasi yang ditetapkan dianggap telah dilunasi.
Pasal 42
Orang yang berkeberatan atas pencabutan izin bukan atas permohonan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, atau huruf g, atau huruf h, atas keputusan Direktur
Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat mengajukan banding dalam jangka waktu enam puluh
hari sejak tanggal penetapan atau keputusan, setelah cukai dan/atau sanksi administrasi yang terutang dilunasi.
Pasal 43
Permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diajukan hanya kepada badan peradilan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
Pasal 44
(1) Sebelum badan peradilan pajak dibentuk, permohonan banding diajukan kepada lembaga banding yang
putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang jelas, dilampiri salinan dari penetapan atau keputusan pejabat administrasi yang dimohonkan
banding.
(3) Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
Bagian Kedua
Lembaga Banding
Pasal 45
(1) Lembaga banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) disebut Lembaga Pertimbangan Bea dan
Cukai.
(2) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta.
(3) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang ketua dan beranggotakan unsur pemerintah,
pengusaha swasta, dan pakar.
Pasal 46
(1) Ketua Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai menunjuk majelis untuk memutuskan permohonan banding yang
diajukan.
(2) Setiap majelis terdiri dari tiga anggota, yakni satu dari unsur pemerintah, satu dari unsur pengusaha swasta, dan
satu dari unsur pakar.
Pasal 47
(1) Persidangan majelis untuk memutuskan suatu permohonan banding bersifat tertutup.
(2) Putusan majelis diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(3) Dalam hal tidak dicapai permufakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), putusan didasarkan pada suara
terbanyak.
(4) Putusan majelis diberitahukan kepada pemohon banding dan Direktur Jenderal selambat-lambatnya empat belas
hari sejak tanggal ditetapkan putusan.
Pasal 48
Anggota majelis yang mempunyai kepentingan pribadi dengan permasalahan yang diperiksa harus mengundurkan
diri dari majelis.
Pasal 49
Susunan organisasi dan tata kerja serta urusan mengenai administrasi, tunjangan, pengeluaran, dan tata tertib
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 50
Barangsiapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, menjalankan usaha Pabrik, Tempat
Penyimpanan, atau mengimpor Barang Kena Cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang
mengakibatkan kerugian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak
sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 51
Pengusaha Pabrik yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a atau
Pengusaha Tempat Penyimpanan yang tidak melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
yang mengakibatkan kerugian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda
paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 52
Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang mengeluarkan Barang Kena Cukai dari Pabrik atau
Tempat Penyimpanan Tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), yang
mengakibatkan kerugian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak
sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 53
Barangsiapa membuat, menggunakan, atau menyerahkan buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan
Pasal 19, atau dokumen cukai yang palsu atau dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun
dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 54
Barangsiapa menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual Barang Kena Cukai yang tidak
dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dipidana dengan pidana denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 55
Barangsiapa secara melawan hukum:
a. membuat, meniru, atau memalsukan pita cukai; atau
b. membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau
mengimpor pita cukai yang palsu atau dipalsukan atau dibuat secara melawan hukum; atau
c. mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai
yang sudah dipakai, dipidana dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak dua
puluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 56
Barangsiapa menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan Barang Kena
Cukai yang berasal dari tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama
empat tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 57
Barangsiapa tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau denda pengaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 58
Barangsiapa menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai kepada tidak berhak, atau membeli, menerima,
atau menggunakan pita cukai yang bukan haknya, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau
denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Pasal 59
(1) Dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh yang bersangkutan, diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan yang
bersangkutan sebagai gantinya.
(2) Dalam hal penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan
pidana kurungan paling lama enam bulan.
Pasal 60
Tindak pidana dalam Undang-undang ini tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak terjadinya
tindak pidana.
Pasal 61
(1) Jika suatu tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan atau atas nama suatu badan hukum, perseroan,
perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
a. badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi tersebut; dan/atau
b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai
pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya.
(2) Tindak pidana menurut Undang-undang ini dianggap dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan,
perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum,
perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi tersebut, tanpa memperhatikan apakah orangorang
itu masing-masing telah melakukan tindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(3) Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, perseroan, perkumpulan, yayasan, atau
koperasi pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus,
atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu dan wakil tersebut dapat diwakili
oleh seorang lain.
(4) Terhadap badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi yang dipidana
berdasarkan Undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan
tidak menghapuskan pidana denda apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana
denda.
Pasal 62
(1) Barang Kena Cukai yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dirampas negara.
(2) Barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dapat dirampas
untuk negara.
(3) Ketentuan tentang penyelesaian atas barang yang dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVIII
PENYIDIKAN
Pasal 63
(1) Pejabat Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktur Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang cukai.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kewajibannya berwenang:
a. menerima laporan atau keterangan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang cukai;
b. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
c. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang
cukai;
d. memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau
apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang cukai;
e. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya;
f. mengambil sidik jari orang;
g. menggeledah rumah tinggal, pakaian dan badan;
h. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila
dicurigai adanya tindak pidana di bidang cukai;
i. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang cukai;
j. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dipakai sebagai bukti sehubungan
dengan tindak pidana di bidang cukai;
k. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
l. menyuruh berhenti seorang tersangka pelaku tindak pidana di bidang cukai serta memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
m. menghentikan penyidikan;
n. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang cukai menurut
hukum yang bertanggung jawab.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 64
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana di bidang cukai.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan
setelah yang bersangkutan melunasi cukai yang tidak dan/atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda sebesar empat kali nilai cukai yang tidak dan/atau kurang dibayar.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 65
Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Importir barang Kena Cukai bertanggung jawab atas
perbuatan orang yang dipekerjakan atau yang ditunjuknya sebagai wakil atau sebagai kuasa yang berhubungan
dengan pekerjaan mereka dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini.
Pasal 66
(1) Barang Kena Cukai dan barang lain yang berasal dari pelanggar tidak dikenal dikuasai negara dan berada di
bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan apabila dalam jangka waktu empat belas hari sejak
dikuasai negara pelanggarnya tetap tidak diketahui, Barang Kena Cukai dan barang lain tersebut menjadi milik
negara.
(2) Barang Kena Cukai yang pemiliknya tidak diketahui, dikuasai negara dan berada di bawah pengawasan serta
wajib diumumkan secara resmi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk diselesaikan oleh yang
bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak dikuasai negara, dan apabila dalam jangka waktu
dimaksud yang bersangkutan tidak menyelesaikan kewajibannya, Barang Kena Cukai tersebut menjadi milik
negara.
(3) Ketentuan tentang penyelesaian Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 67
Persyaratan dan tata cara impor Barang Kena Cukai dari suatu kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah
perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas serta Pemberitahuan Pabean di instalasi dan alat-alat yang berada di
Landas Kontinen Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berlaku Undang-undang tentang Kepabeanan.
Pasal 68
Ketentuan tentang tata cara pengenaan sanksi administrasi dan penyesuaian besarnya sanksi administrasi serta
penyesuaian besarnya bunga menurut Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua izin yang telah ada dan ditentukan batas waktunya dinyatakan
tetap berlaku sampai habis masa berlakunya, sedangkan bagi izin yang tidak ditentukan masa berlakunya
dinyatakan tetap berlaku selama satu tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila telah berakhir masa berlakunya, harus diperbaharui
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Terhadap Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan yang sebelum berlakunya Undang-undang
ini telah menjalankan usahanya yang karena peraturan perundang-undangan cukai yang lama tidak diwajibkan
memiliki izin sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dalam jangka waktu tiga bulan sejak berlakunya
Undang-undang ini harus sudah memiliki izin.
Pasal 70
Terhadap urusan cukai yang pada saat berlakunya Undang-undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai yang meringankan setiap orang.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi :
1. Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie Van 27 Desember 1886 Stbl. 1886 No. 249 dan Ordonnantie Van
11 Mai 1908 Stbl. 1908 No. 361), sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan
Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 121);
2. Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie Van 27 Februari 1898 Stbl. 1898 No. 90 en 92 dan
Ordonnantie Van 10 Juli 1923 Stbl. 1923 No. 344), sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah,
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 tentang
Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor
121);
3. Ordonansi Cukai Bir (Bieraccijns Ordonnantie Stbl. 1931 No. 488 en 489), sebagaimana telah beberapa kali
diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun
1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 121);
4. Ordonansi Cukai Tembakau (Tabacsaccijn Ordonnantie Stbl. 1932 No. 517) sebagaimana telah beberapa kali
diubah dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun
1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 121);
5. Ordonansi Cukai Gula (Suikeraccijns Ordonnantie Stbl. 1933 No. 351) sebagaimana telah beberapa kali diubah
dan ditambah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965
tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara Tahun 1966 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965
Nomor 121).
Pasal 72
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1966.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995

PPN PPNBM

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(PPN dan PPn BM)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelaksanaan Pendapatan Negara
Dosen pembimbing: M. Arifin

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan dari penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

Pajak Pertambahan Nilai memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
1. Menghilangkan pajak berganda.
2. Menggunakan tarif tunggal, memudahkan pelaksanaan.
3. Netral dalam persaingan dalam negeri.
4. Netral dalam perdagangan internasional.
5. Netral dalam pola konsumsi.
6. Dapat mendorong ekspor.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung dan pajak atas konsumsi atas dalam negeri. Adapun dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Undang-Undang ini disebut sebagai Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
ISI

A. Barang Kena Pajak (BKP)
1. Pengertian
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
2. Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali Undang-Undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut :

a) Barang hasil pertambangan , penggalian , dan pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti:
a. Minyak mentah
b. Gas bumi
c. Panas bumi
d. Pasir dan kerikil
e. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara, dan
f. Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, biji perak, dan biji bauksit.
b) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
a. Beras
b. Gabah
c. Jagung
d. Sagu
e. Kedelai, dan
f. Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
d) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

B. Jasa Kena Pajak (JKP)
1. Pengertian
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barangkarena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petujuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
2. Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarka atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut :
a) Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
b) Jasa di bidang pelayanan sosial,
c) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia (Persero),
d) Jasa keuangan,
e) Jasa Asuransi meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
f) Jasa di bidang keagamaan,
g) Jasa di bidang pendidikan,
h) Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
i) Jasa di bidang penyiaran yang tidak bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
j) Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;, meliputi jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau maupun di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh swasta.
k) Jasa di bidang tenaga kerja,
l) Jasa di bidang perhotelan,
m) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (1MB), pemberian Ijin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
n) Jasa penyediaan tempat parkir; yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
o) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos;
q) Jasa boga atau katering.

C. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
1. Pengertian
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjannya menghasilkan barang, mengimpor barang mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan uasaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang NO 42 Tahun 2009.
2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
PKP berkewajiban untuk :
a) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP
b) Memungut PPn dan PPn BM yang terutang
c) Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak
d) Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP
e) Melakukan pencatatan dan pembukuan mengenai kegiatan usahanya
f) Menyetor PPN dan PPn BM yang terutang
g) Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
3. Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah :
a) Pengusaha kecil
b) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
4. Pengusaha Kecil
Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (Enam ratus juta rupiah).

D. Obyek Pajak Pertambahan Nilai
PPN dikenakan atas :
a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b) Impor Barang Kena Pajak;
c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah . Pabean;
e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f) Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
g) ekspor BarangKena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h) ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

E. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
a) Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang- Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b) Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UndangUndang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
c) Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang PPN.
d) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e) Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.

F. Tarif PPN dan PPn BM
a) Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
b) Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
c) Tarif PPN dan PPnBM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

G. Saat dan Tempat Pajak Terutang
Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri(menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lainlain). 2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. 3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

H. Faktur Pajak
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyarahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib membuat faktur pajak.
a) Saat pembuatan faktur pajak
• Saat penyerahan BKP dan/atau JKP
• Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP.
• Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
• Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
b) Saat pembuatan faktur pajak gabungan
• Untuk meringankan beban administrasi, PKP diperkenankan untuk membuat satu faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan kalender kepada pembeli atau penerima JKP yang sama yang disebut faktur Pajak gabungan.
• Faktur Pajak gabungan dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP meskipun didalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
1) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
2) Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
4) PPN yang dipungut;
5) PPn BM yang dipungut;
6) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7) Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

I. Tata Cara Pemungutan
a) Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).
b) Membayar/Menyetor Dan Melapor PPN/PPnBM
• Pengusaha Kena Pajak (PKP)
• Pemungut PPN/PPnBM, adalah :
 Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara dan
 Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
c) Yang Wajib Disetor
• Oleh PKP adalah :
 PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran
 PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
 PPN/ PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat
 Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
• Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/ PPnBM

d) Tempat Pembayaran/Penyetoran Pajak
• Kantor Pos dan Giro
• Bank Pemerintah, kecuali BTN
• Bank Pembangunan Daerah
• Bank Devisa
• Bank-bank lain penerima setoran pajak
• Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
e) Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
• PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak. Contoh : Masa Pajak Januari 2001, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari 2001.
• PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB,SKPKBT, dan STP harus dibayar / disetor sesuai bataswaktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
• PPN / PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
• PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
 Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
• PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.


PENUTUP

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) diatur dalan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.






Sumber :
1. Buku
Mardiasmo. PERPAJAKAN Edisi Revisi 2006.2006. Yogyakarta: ANDI.
2. Internet
http://www.pajak.go.id

PENERAPAN SISTEM TSA PADA REKENING BENDAHARA PENGELUARAN

PENERAPAN SISTEM
TREASURY NOTIONAL POOLING PADA REKENING BENDAHARA PENGELUARAN

KONDISI SAAT INI:
Rekening Bendahara tidak bisa di monitor oleh DJPBN
Saldo di rekening Bendahara tidak diketahui
tidak bisa dilaporkan baik untuk managerial report maupun accountability report sehingga menjadi salah satu penyebab LKPP menjadi disclaimer.
Data base rekening di KPPN kurang up date
Rekening Bendahara Pengeluaran hanya mendapat remunerasi sebesar 0% - 2.5% per tahun dari saldo terendah.
Contoh tingkat bunga pada salah satu bank:
< 5 Juta Þ 0 %
>= 5 Juta - < 50 Juta Þ 0,75 %
>= 50 Juta - < 500 Juta Þ 1,5 %
>= 500 Juta - < 1 M Þ 2 %
>= 1 M Þ 2,5 %

TUJUAN
Rekening Bendahara dapat dimonitor secara harian
Saldo harian dapat dilaporkan
Mendapat bunga yang lebih baik

TNP
Treasury Notional Pooling Bendahara Pengeluaran adalah program pengelolaan saldo konsolidasi dari seluruh rekening bendahara pengeluaran pada bank umum tanpa harus melakukan pemindahbukuan.

DASAR HUKUM
Pasal 24 PP no: 39 tahun 2007
“ Terhadap Uang Negara/Daerah yang berada di Bank Umum/ Badan lain, Bendahara Umum Negara/Daerah berhak memperoleh bunga, jasa giro/bagi hasil pada tingkat bunga yang berlaku umum untuk keuntungan Kas Negara/Daerah ”
Peraturan Menteri Keuangan No. 61/PMK.05/2009 tentang Penerapan Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Pengeluaran

PELAKSANAAN TNP
1. Bendahara Pengeluaran tidak diperkenankan menarik uang yang menjadi tanggung jawabnya setelah pukul 15.00 waktu setempat.
2. Pada keesokan harinya pada pukul 08.00 waktu setempat, Bendahara Pengeluaran dapat menarik uangnya kembali seperti semula, sesuai dengan jumlah saldo pada hari sebelumnya.
Waktu Operasional Rek. 08.00 – 15.00
Bendahara Pengeluaran Waktu Setempat
3. Saldo rekening bendahara dimonitor oleh Dit. PKN dengan menggunakan Cash Management System.
4. Bank pelaksana TNP mengkonsolidasikan saldo pada saat tutup buku tanpa pemindahbukuan.
5. Data saldo konsolidasi kemudian dikirimkan ke Dit. PKN melalui fasilitas File Transfer Protocol.
6. Data saldo konsolidasi kemudian di input ke dalam aplikasi TNP di Dit. PKN.
7. Setiap awal bulan dilakukan rekonsiliasi dengan bank pelaksana TNP mengenai jumlah saldo konsolidasi dan jasa giro.

Kelebihan TNP:
Segi pendapatan :
1. Tingkat remunerasi yang lebih menguntungkan
2. Saldo Konsolidasi membuat saldo patokan penghitungan bunga tidak pernah sebesar Rp. 0.-sehingga pendapatan jasa giro perbulan sebesar Rp. 0,- juga tidak terjadi.
Segi administrasi
1. Rekening Bendahara Pengeluaran teradministrasi dengan baik dalam aplikasi TNP.
2. Dep. Keuangan dapat dengan mudah mengetahui jumlah uang di rekening Bendahara Pengeluaran secara realtime online dengan menggunakan cash management system
3. Dep. Keuangan dapat dengan mudah menghitung dan memonitor besarnya PNBP untuk jasa giro saldo rekening Bendahara Pengeluaran.
Segi waktu :
sangat efisien karena saldo rekening Bendahara Pengeluaran pada akhir hari kerja tidak dipindahbukukan dan tidak berubah, akan tetapi saldo rekening seluruh Bendahara Pengeluaran dijumlahkan pada Kantor Pusat Bank Umum.
Segi Biaya :
Bank tidak mengenakan biaya atas penerapan Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Pengeluaran.

TREASURY SINGLE ACCOUNT

TREASURY SINGLE ACCOUNT

Landasan hukum
• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (pasal 12 ayat 2 dan pasal 22 ayat 2 dan 3)
– Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui satu rekening (Single Account) - Rekening Kas Umum Negara (RKUN).

PRINSIP-PRINSIP
• Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa BUN Pusat membuka satu Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat (RPK-BUN-P) di masing-masing kantor pusat bank operasional.
– RPK-BUN-P dipergunakan untuk menampung penyediaan dana yang akan ditarik oleh KPPN untuk membiayai pengeluaran negara.
• Penggunaan Rekening BO I Gaji dan Non Gaji pada KPPN
– Rekening BO I Gaji tidak dipergunakan
– Rekening BO I Non Gaji selanjutnya disebut Rekening BO I.
• RPK-BUN-P dan Rekening BO I setiap akhir hari kerja harus nihil.
• Rekening BO II setelah pembayaran gaji bulanan harus Nihil.
• Bank Operasional tidak diperkenankan memungut biaya transaksi pengeluaran/penyaluran dana APBN.

PELAKSANAAN PADA KANTOR PUSAT BANK OPERASIONAL
• Pengisian RPK-BUN-P :
– Diisi setiap awal hari kerja sejumlah dana untuk kegiatan penyaluran dana APBN oleh KPPN.
– Jumlah dana ditetapkan sebesar perkiraan kebutuhan dana KPPN pada hari berkenaan ditambah 5% (tidak termasuk dana untuk pembayaran gaji bulanan)
– Dana tambahan 5% dipergunakan jika ada pengeluaran mendadak dan/atau yang belum masuk dalam kebutuhan hari itu.
• Pengeluaran dari RPK-BUN-P :
– Dana yang ditarik oleh BO I untuk pencairan SP2D
– Mengisi rekening BO II.
Kantor Pusat Bank Operasional harus :
• Membuat pernyataan penarikan dana setiap akhir hari kerja
– Berdasarkan dana yang ditarik oleh BO I
• Menihilkan saldo RPK-BUN-P selambat-lambatnya pukul 16.30 WIB pada setiap akhir hari kerja
• Mengirimkan kepada Direktur Pengelolaan Kas Negara (pada setiap akhir hari kerja) :
– Advis kredit pengisian dana
– Pernyataan penarikan dana per BO I (rekapitulasi per KPPN)
– Advis debet penihilan saldo RPK-BUN-P

PELAKSANAAN PADA DIREKTORAT PENGELOLAAN KAS NEGARA
• Setiap awal hari kerja :
– Membuat BG-BI untuk mengisi dana RPK-BUN-P sebesar perkiraan kebutuhan dana ditambah 5%.
• Setiap akhir hari kerja :
– Menerima perkiraan kebutuhan dana dari KPPN untuk pengeluaran esok harinya.
– Kebutuhan dana termasuk untuk mengisi rekening BO II yang dilakukan 3 (tiga) hari sebelum hari pembayaran gaji.
• Jika terjadi kekurangan dana pada RPK-BUN-P akan diterbitkan BG-BI sebesar kekurangan dimaksud.
• Setiap hari menerima :
– Advis kredit
– Pernyataan penarikan dana per KPPN
– Advis debet dari bank operasional pusat selaku pemegang RPK-BUN-P
• Membukukan transaksi tersebut kedalam buku bank RPK-BUN-P.
• Setiap hari mencocokkan :
– Advis kredit yang diterima dari RPK-BUN-P dengan bilyet giro yang diterbitkan;
– Pernyataan penarikan dana per KPPN (rekapitulasi per KPPN) dari RPK-BUN-P dengan rekening Koran RPK-BUN-P;
– Advis debet penihilan saldo RPK-BUN-P dengan advis kredit penerimaan penihilan dari Bank Indonesia.

PELAKSANAAN PADA BANK OPERASIONAL I
• Menerima SP2D non gaji dan surat permintaan transfer dana ke BO II dari KPPN.
• Menarik dana sebesar SP2D yang diterima hari itu dan surat permintaan transfer dari bank operasional pusat pemegang RPK-BUN-P.
• Atas penarikan dana tersebut, BO I membuat advis kredit penerimaan dana pada rekening BO I.
• Membayar kepada yang berhak sesuai dengan tanggal SP2D yang disampaikan oleh KPPN.
• Mentransfer dana ke rekening BO II sesuai surat permintaan transfer dana dari KPPN.
• BO I menihilkan sisa dana yang ada pada rekening BO I ke RPK-BUN-P
• Setiap akhir hari kerja menyampaikan ke KPPN:
• Rekening koran;
• Advis kredit penerimaan dana di rekening BO I;
• Advis debet pengisian dana ke rekening BO II.

PELAKSANAAN PADA BANK OPERASIONAL II
• Menerima SP2D gaji bulanan dari KPPN.
• Menerima dana dari RPK-BUN-P melalui BO I sebesar SP2D yang disampaikan oleh KPPN untuk pembayaran gaji 3 hari sebelum hari pembayaran.
• Membayarkan gaji bulanan kepada yang berhak pada hari kerja setiap awal bulan, sesuai dengan tanggal SP2D gaji bulanan.
• Pada akhir hari pembayaran gaji bulanan BO II menihilkan saldo yang ada di Rekening BO II dengan mentransfer/menyetor ke RPK-BUN-P melalui BO I paling lambat pukul 14.00 waktu setempat.

PELAKSANAAN PADA KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA
Sebelum uji coba dimulai :
• Memindahkan saldo Rekening BO I Gaji dan BO I Non Gaji pada akhir hari kerja
– Untuk KPPN KBI (induk atau bukan induk) ke rekening kas negara nomor 501.000.XXX pada BI;
– Untuk KPPN non KBI ke rekening kas negara nomor 501.000.XXX pada BI mitra kerja KPPN Induk;
• KPPN memindahkan seluruh saldo yang ada pada BO II, empat hari kerja sebelum uji coba :
– Untuk KPPN KBI (induk atau bukan induk) ke rekening kas negara nomor 501.000.XXX pada BI;
– Untuk KPPN non KBI ke rekening kas negara nomor 501.000.XXX pada BI mitra kerja KPPN Induk
• Ketentuan diatas tidak berlaku bagi KPPN yang telah melaksanakan uji coba rekening pengeluaran bersaldo nihil.
– Setiap hari menyampaikan perkiraan kebutuhan dana untuk hari berikutnya kepada Direktorat Pengelolaan Kas Negara selambat-lambatnya pukul 16.00 waktu setempat.
– Kebutuhan dana tersebut termasuk dana untuk mengisi rekening BO II yang dilakukan 3 (tiga) hari sebelum hari pembayaran gaji.
– Dalam hal terjadi kekurangan dana, permintaan tambahan dana untuk hari itu wajib disampaikan kepada Direktorat Pengelolaan Kas Negara selambat-lambatnya pukul 10.00 waktu setempat
• Setiap bulan menyampaikan surat permintaan transfer dana ke BO I 3 (tiga) hari sebelum hari pembayaran gaji untuk mengisi dana ke rekening BO II guna pembayaran gaji bulanan.
• Dalam hal 3 (tiga) hari sebelum pembayaran gaji jatuh pada hari libur/diliburkan, surat permintaan transfer disampaikan pada hari kerja sebelum libur/diliburkan.
• Mengirimkan SP2D non gaji ke BO I, termasuk kekurangan gaji dan gaji susulan, dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu hari kerja pada pukul 08.00 dan selambat-lambatnya pukul 12.00.
• Mengirimkan SP2D gaji bulanan ke BO II dilakukan paling lambat 5 hari sebelum hari pembayaran gaji.
• KPPN membukukan pada masing-masing buku bank:
– Advis kredit penerimaan dana pada rekening BO I dari RPK-BUN-P;
– Advis debet pengisian dana rekening BO II dari rekening BO I;
– Advis kredit pengisian dana pada rekening BO II dari rekening BO I.

IMBALAN JASA PELAYANAN PERBANKAN
• Selama pelaksanaan uji coba ini kepada Bank Operasional I diberikan imbalan jasa pelayanan.
• Besarnya imbalan jasa pelayanan perbankan kepada BO I adalah Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) per SP2D.
• Pembayaran imbalan jasa pelayanan perbankan dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara berdasarkan DIPA.
• BO I mitra KPPN Jakarta II, Batam dan Bekasi diberikan imbalan jasa pelayanan perbankan mulai uji coba sebelum berlakunya peraturan ini.
• Tata cara pembayarannya :
– Setiap awal bulan BO I membuat daftar jumlah SP2D yang telah dibayarkan setiap hari dalam satu bulan 4 rangkap dan disahkan oleh Kepala KPPN mitra kerjanya.
à I dan II untuk BO I, lembar I di kirimkan ke BO Pusat
à III dan IV untuk KPPN, lembar III dikirimkan ke Dit. PKN (Dabantek)
– Bank operasional pusat menyampaikan tagihan kepada Direktorat Pengelolaan Kas Negara (Dabantek) dengan dilampiri kuitansi dan daftar jumlah SP2D dari masing-masing BO I yang telah direkapitulasi.
– Berdasarkan tagihan tersebut Kasubdit Dabantek (pembuat komitmen) menguji tagihan dengan daftar SP2D yang dikirimkan oleh KPPN sebelum menerbitkan SPP
– SPP dengan lampiran sebagaimana di atas dan Surat Pernyataan Ringkasan Penggunaan Dana (dibuat Dabantek) diteruskan ke Kasubdit AKN (pejabat penguji SPP/Penandatangan SPM) untuk diterbitkan SPM-LS
– Berdasarkan SPM-LS Subdit ABUN menerbitkan SP2D atas nama BO Pusat bersangkutan.

SANKSI
• Sanksi dikenakan atas keterlambatan penihilan (kecuali force majeure) :
– RPK-BUN-P
– Rekening BO I
– Rekening BO II
• Penerapan sanksi dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut :
– Keterlambatan penihilan pertama dan kedua diberikan surat peringatan.
– Keterlambatan penihilan ketiga kali dan seterusnya dikenakan denda sebesar 12% per tahun (dihitung setiap hari termasuk hari libur) dengan denda minimal Rp 5.000,-
• surat pemberitahuan pengenaan denda disampaikan kepada Bank Indonesia atau Kantor Bank Indonesia
• Bank Indonesia atau Kantor Bank Indonesia menindaklanjuti dengan pengenaan denda dan menyetorkan ke rekening kas negara di Bank Indonesia.
• Pemberian surat peringatan dan surat pengenaan denda dilaksanakan oleh :
– Direktorat Pengelolaan Kas Negara untuk keterlambatan penihilan RPK-BUN-P;
– KPPN untuk keterlambatan penihilan rekening BO I dan rekening BO II.

KETENTUAN LAIN-LAIN
Selama pelaksanaan uji coba :
• Bank Persepsi/Devisa Persepsi dan Kantor Pos Persepsi mitra KPPN non KBI
– Melimpahkan penerimaan negara langsung ke rekening 501.000.XXX KPPN Induk pada Kantor Bank Indonesia.
• Bank Operasional III mitra KPPN non KBI
– Mentransfer PBB/BPHTB dan upah pungut bagian Pemerintah Pusat ke rekening 501.000.XXX KPPN Induk pada Kantor Bank Indonesia.

PENUTUP
• Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini berlaku hanya untuk KPPN yang melaksanakan uji coba
• Semua ketentuan yang berlaku bagi KPPN, sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, tetap berlaku lagi bagi KPPN yang mengikuti uji coba.
• Peraturan DJPBN No.PER-09/PB/2005 tgl. 27 Juni 2005 diubah dgn No.PER-46/PB/2005 tgl. 16 Nopember 2005 dan No.PER-10/PB/2006 tgl. 28 Maret 2006 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

PBB BPHTB

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
(PBB dan BPHTB)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakanterhadap obyek pajak berupa bumi dan atau bangunan. Pajak ini dilihat dari siapa yang memungut termasuk pajak pusat, tetapi persentase pembagian hasil penerimaannya lebih banyak diberikan ke daerah. Seiring dengan perkembangannya, maka Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sekarang banyak mengalami kemajuan menuju sistem perpajakan yang adil, sederhana dan memiliki kepastian hukum.
Dengan mengingat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Tanah yang memnpunyai fungsi sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa maupun bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang baik bagi orang pribadi atau badan yang memperoleh hak suatu hak atasnya, oleh karena itu wajar bila mereka yang memperolah hak atas tanah dan atau bangunan diwajibkan membayar pajak kepada Negara.
Bahwa terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku perludikenakan pajak dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


ISI
BAGIAN I
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
(PBB)

A. Pengertian Umum
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”. Bumi disini adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia, Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang,dll. Serta bagunan yang dimaksud adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll.
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
1.Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain,
2.Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3.Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4.Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5.Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
- memiliki bangunan, dan atau;
- menguasai bangunan, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat.
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan:
a.Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b.perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
c.nilai perolehan baru;
d.penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
b.Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).Besarnya NJKP adalah sebagai berikut;
• Objek pajak perkebunan adalah 40%
• Objek pajak kehutanan adalah 40%
• Objek pajak pertambangan adalah 20%
• Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp. l .000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya Besarnya tarif PBB adalah 0,5%. Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP)
maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP)
= 0,2%x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP)
maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP)
= 0,1 %x (NJOP -NJOPTKP)
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Saat yang menentukan pajak terutang atau belum dibayar adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari.Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
B. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan atas Objek Pajak adalah tarif tunggal yaitu sebesar 0,5%. Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut:
• Objek pajak perkebunan adalah 40%
• Objek pajak kehutanan adalah 40%
• Objek pajak pertambangan adalah 40%
• Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp. l.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp. l.000.000.000,00 adalah 20%.

C. Kelebihan Pembayaran PBB
1. Pengertian
Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah selisih antara pajak yang dibayar dengan pajak yang terutang. Kelebihan pembayaran PBB terjadi dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) lebih besar dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.
2. Penyebab Terjadinya Kelebihan Pembayaran
a. Perubahahan peraturan;
b. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan;
c. Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan;
d. Kekeliruan pembayaran.
e. Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan
a. Mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat Tagihan Pajak (STP).
b. Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat;
c. Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan objek pajak yang
dimohonkan berupa:
-fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan tentang Keberatan/Banding dan atau Surat Keputusan tentang Pemberian Pengurangan atau Surat Keputusan Pengadian;
-Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB.
d. Meminta tanda bukti penerimaan surat permohonan (yang sudah lengkap) dari pejabat Kantor Pelayanan PBB yang ditunjuk.
4. Pelaksanaan Pengembalian
a. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari WP,Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama harus menerbitkan :
- Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) PBB, apabila jumlah yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;
- Surat Pemberitaan (SPb), apabila jumlah yang dibayar sama dengan jumlah PBB yang
seharusnya terutang;
- Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila jumlah yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.
b.Kepala Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama harus menerbitkan Surat Perintah pencairan Dana (SP2D) dalam jangka waktu1 (satu) bulan sejak diterbitkannya SKKPP.PBB.
c.Dalam hal WP mempunyai utang PBB atas objek lainnya dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama, maka kelebihan pembayaran PBB yang tercantum dalam SKKPP.PBB langsung diperhitungkan terlebih dahulu.
d.WP dapat mengajukan permohonan agar kelebihan pembayaran PBB diperhitungkan dengan penetapan PBB yang akan datang.
e.Atas sisa penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d, dapat diterbitkan SPMKP.PBB.
D. Penagihan PBB
1. Penagihan
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
2. Dasar Penagihan
Dasar Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan adalah :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
c. Surat Tagihan Pajak (STP)


E. Surat Ketetapan Pajak PBB
1. Pengertian
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).

2. Dasar Penerbitan SKP
SKP diterbitkan apabila :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :
1)tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP;
2)tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b.berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP;


3. Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP
a.Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
b.Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.


4. Cara Penyampaian SKP
SKP disampaikan kepada WP melalui :
a.Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
b. Kantor Pos dan Giro.
c. Pemerintah Daerah.

5. Batas Waktu Pelunasan SKP
SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKP diterima oleh WP.

F. Surat Pemberitahuan Objek Pajak
I. Pengertian
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang.

II. Hak Wajib Pajak
1.Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4), atau tempat lain yang ditunjuk.

2.Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4.

3.Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4.

4.Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah,dan lain-lain).

5.Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.

6.Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

III. Kewajiban Wajib Pajak
1.Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP

2.Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:
-Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir;
-Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
-Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.

3.Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.

4.Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
IV. Sanksi
a. Sanksi Administrasi
1)Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.

2)Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP degan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.
b. Sanksi Pidana
1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga. menimbulkan kerugian bagl negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2) Barang siapa karena dengan sengaja:
a.Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b.Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
c.Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
d.Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
e.Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda. Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,-


BAGIAN II
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
(BPHTB)

A. Pengertian Umum
1. Pengertian
1.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3.Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
2. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan hak karena
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.penggabungan usaha;
11.peleburan usaha;
12.pemekaran usaha;
13.hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
3. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
a.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b.Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c.Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d.Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4. Tarif Pajak
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
5. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a.Jual beli adalah harga transaksi;
b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.Hibah adalah nilai pasar;
d.Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan , dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
B. Cara Penghitungan BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah:
BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)

C. Pembayaran BPHTB
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).
D. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
E. Penagihan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1.pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2.dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3.wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.