Jumat, 05 November 2010

uu no 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib,
taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;
b. bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu dilakukan pemeriksaan
berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 23 dan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
2. Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK;
4. Pejabat yang diperiksa dan/atau yang bertanggung jawab, yang selanjutnya disebut pejabat, adalah satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk
mengelola keuangan negara;
5. Lembaga perwakilan adalah DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan/atau DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6. Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban;
7. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;
D:\SUPARJO\Website\Peraturan\Undang-Undang\UU No. 15 Tahun 2004 ttg PPTJKN.doc
2
8. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum,
standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomi oleh BPK dan/atau pemeriksa.
9. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara;
10. Dokumen adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik tertulis di atas
kertas atau sarana lain, maupun terekam dalam bentuk/corak apapun;
11. Opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan;
12. Rekomendasi adalah saran dari pemeriksa berdasarkan hasil pemeriksaannya, yang ditujukan kepada orang dan/atau badan yang berwenang untuk
melakukan tindakan dan/atau perbaikan.
BAB II
LINGKUP PEMERIKSAAN
Pasal 2
(1) Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
(2) BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pasal 3
(1) Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
(2) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan Undang-Undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan
kepada BPK dan dipublikasikan.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
(2) Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
(3) Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta
pemeriksaan aspek efektivitas.
(4) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 5
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan.
(2) Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
BAB III
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Pasal 6
Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian
laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.
Pasal 7
(1) Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan.
(2) Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan
pertemuan konsultasi.
Pasal 8
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral,
dan masyarakat.
Pasal 9
D:\SUPARJO\Website\Peraturan\Undang-Undang\UU No. 15 Tahun 2004 ttg PPTJKN.doc
3
(1) Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan intern pemerintah.
(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.
(3) Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
Pasal 10
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas
yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya.
c. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara.
d. meminta keterangan kepada seseorang.
e. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan.
Pasal 11
Dalam rangka meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d, BPK dapat melakukan pemanggilan kepada seseorang.
Pasal 12
Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah.
Pasal 13
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pasal 14
(1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah.
BAB IV
HASIL PEMERIKSAAN DAN TINDAK LANJUT
Pasal 15
(1) Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan.
(2) Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan.
Pasal 16
(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
(3) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
(4) Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan
hasil pemeriksaan.
Pasal 17
(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
(5) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
D:\SUPARJO\Website\Peraturan\Undang-Undang\UU No. 15 Tahun 2004 ttg PPTJKN.doc
4
(6) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(7) Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur bersama
oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 18
(1) Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang
bersangkutan.
(2) Ikhtisar hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
Pasal 19
(1) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.
(2) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima.
(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan
semester.
Pasal 21
(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan.
(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).
BAB V
PENGENAAN GANTI KERUGIAN NEGARA
Pasal 22
(1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui
ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah.
(2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian
negara/daerah kepada bendahara yang bersangkutan.
(4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.
(5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan perseroan
yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal 23
(1) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan
penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah
dimaksud.
(2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
D:\SUPARJO\Website\Peraturan\Undang-Undang\UU No. 15 Tahun 2004 ttg PPTJKN.doc
5
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk
kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara
tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 25
(1) Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 26
(1) Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) Ketentuan mengenai pemeriksaan atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilaksanakan mulai sejak pemeriksaan atas
laporan keuangan tahun anggaran 2006.
(2) Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang sedang dilakukan oleh BPK dan/atau Pemerintah pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini.
(3) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-Undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Undang-Undang ini berlaku Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 Nomor 9 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Staatsblad 1933 Nomor 320), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
D:\SUPARJO\Website\Peraturan\Undang-Undang\UU No. 15 Tahun 2004 ttg PPTJKN.doc
6
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 66

uu no 17/2003 tentang keuangan negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diatur dalam
Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur
dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;
Mengingat:
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21,
Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah
Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah
Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar
tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pasal 3
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan
undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun
anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember.
Pasal 5
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang
Rupiah.
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan
mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 7
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai
berikut :
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga
yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undangundang.
Pasal 10
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang
daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas
sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai
tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undangundang.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana
kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit
tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan
surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun
anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei
tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokokpokok
kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan
rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama
Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan
bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun
berikutnya.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan
penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun
sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang
mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan
dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang
APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar
angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Daerah.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan
yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana
kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan
Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambatlambatnya
pertengahan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk
dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran
menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun
berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk
dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah
sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun
sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang
yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran
dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan
selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggitingginya
sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan
moneter.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undangundang
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau
sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan
persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari
pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah
dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat
persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah
mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat
memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah
mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat
yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam)
bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada
akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah
Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan
Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang
bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi,
antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk
pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya,
yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan
Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran
yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan
persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6
(enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada
akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah
Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD
dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran
yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi,
antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk
pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya,
yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam
Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun anggaran
yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan
persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan
dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN
kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan,
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan
Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan
Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
daerah.
Pasal 32
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu komite
standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu
mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang
tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan
kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri
serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undangundang
ini.
Pasal 35
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan
mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau
surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai
perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya
dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah, demikian pula
penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah daerah oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai
APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
2. Indis che Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47

uu no 1/2004 tentang perbendaharaan negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2004
TENTANG
PERBENDAHARAAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan negara;
b. bahwa pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD);
c. bahwa dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara yang mengatur
perbendaharaan negara;
d. bahwa Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53), tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, di atas perlu dibentuk Undang-undang tentang Perbendaharaan
Negara;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4286);
Dengan Persetujuan Bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam
APBN dan APBD.
2. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan
negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
3. Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
4. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh
Gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan
membayar seluruh pengeluaran daerah.
5. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang
ditentukan oleh Gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan
daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
6. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat
dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat
perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau akibat lainnya yang sah.
7. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah
dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat
perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau akibat lainnya yang sah.
8. Utang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau
kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang
sah.
9. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau
kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang
sah.
10. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
11. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
12. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
13. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik
negara/daerah.
14. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama
negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat
berharga atau barang-barang negara/daerah.
15. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi bendahara umum negara.
16. Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi bendahara umum daerah.
17. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan
negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
18. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk
keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
19. Menteri/Pimpinan Lembaga adala pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan
keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
20. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non
kementerian negara/lembaga negara.
21. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian
keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak
sebagai Bendahara Umum Daerah.
22. Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.
23. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerinyah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
24. Bank Sentral adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
23D.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2
Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:
a. pelaksanaan pendapatan dan belanja negara;
b. pelaksanaan pendapatan dan belanjadaerah;
c. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara;
d. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah
e. pengelolaan kas;
f. pengelolaan piutang dan utang negara/daerah;
g. pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah;
h. penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah;
i. penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD;
j. penyelesaian kerugian negara/daerah;
k. pengelolaan Badan Layanan Umum;
l. perumusan standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Bagian Ketiga
Asas Umum
Pasal 3
(1) Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk
melakukan penerimaan dan pengeluaran negara.
(2) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk
melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
(3) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban
APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau
tidak cukup tersedia.
(4) Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan
program pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN.
(5) Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan
program pemerintah daerah, dibiayai dengan APBD.
(6) Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak dan/atau tidak
terduga disediakan dalam bagian anggaran tersendiri yang selanjutnya diatur dalam
peraturan pemerintah.
(7) Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan
APBN/APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.
BAB II
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA
Bagian Pertama
Pengguna Anggaran
Pasal 4
(1) Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
(2) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan dan perintah
pembayaran;
g. menggunakan barang milik negara;
h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara;
i. mengawasi pelaksanaan anggaran;
j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan;
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Pasal 5
Gubernur/bupati/walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah:
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan dan/atau
Bendahara Pengeluaran;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan
memerintahkan pembayaran.
Pasal 6
(1) Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
(2) Kepala satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan tugasnya selaku pejabat
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran
belanja;
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang dan piutang;
f. menggunakan barang milik daerah;
g. mengawasai pelaksanaan anggaran;
h. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan;
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Bagian Kedua
Bendahara Umum Negara/Daerah
Pasal 7
(1) Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.
(2) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang:
a. menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
b. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
d. menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
e. menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran
negara;
g. menyimpan uang negara;
h. menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;
i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas
beban rekening kas umum negara;
j. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;
k. memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
l. melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
m. mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi
pemerintahan;
n. melakukan penagihan piutang negara;
o. menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;
p. menyajikan informasi keuangan negara;
q. menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik
negara;
r. menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka
pembayaran pajak;
s. menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.
Pasal 8
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mengangkat kuasa Bendahara
Umum Negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
(2) Tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan
mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya.
(3) Kuasa Bendahara Umum Negara melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas
Negara sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf c.
(4) Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban memerintahkan penagihan piutang
negara kepada pihak ketiga sebagai penerimaan anggaran.
(5) Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban melakukan pembayaran tagihan pihak
ketiga sebagai pengeluaran anggaran.
Pasal 9
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah Bendahara Umum Daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah
berwenang:
a. menyiapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas
daerah;
e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau
lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;
g. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
h. menyimpan uang daerah;
i. melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi;
j. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas
beban rekening kas umum daerah;
k. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah
daerah;
l. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
m. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
n. melakukan penagihan piutang daerah;
o. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
p. menyajikan informasi keuangan daerah;
q. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang
milik daerah.
Bagian Ketiga
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran
Pasal 10
(1) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara
Penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran pendapatan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
(2) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara
Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
(3) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) adalah Pejabat Fungsional.
(4) Jabatan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa
Pengguna Anggaran atau Kuasa Bendahara Umum Negara.
(5) Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dilarang melakukan baik secara langsung
maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan
penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan
tersebut.
BAB III
PELAKSANAAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA/DAERAH
Bagian Pertama
Tahun Anggaran
Pasal 11
Tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
Pasal 12
(1) APBN dalam satu tahun anggran meliputi:
a. hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b. kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c. penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya.
(2) Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara.
Pasal 13
(1) APBD dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b. kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih;
c. penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya.
(2) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Darah.
Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Pasal 14
(1) Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada semua
menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran
untuk masing-masing kementerian negara/lembaga.
(2) Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang
ditetapkan oleh Presiden.
(3) Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan,
anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan
dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
(4) Pada dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilampirkan rencana kerja dan anggaran Badan Layanan Umum dalam lingkungan
kementerian negara yang bersangkutan.
(5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan di
sampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, kuasa bendahara umum negara, dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 15
(1) Setelah APBD ditetapkan, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah memeberitahukan
kepada semua kepala satuan kerja perangkat daerah agar menyampaikan dokumen
pelaksanaan anggaran untuk masing-masing satuan kerja perangkat daerah.
(2) Kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
untuk satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran
yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3) Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan,
anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut,dan rencana penarikan
dana tiap-tiap satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan.
(4) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah disampaikan kepada Kepala satuan kerja perangkat daerah dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
Pasal 16
(1) Setiap kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang mempunyai
sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi
wewenang dan tanggung jawabnya.
(2) Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara/Daerah pada waktunya yang
selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.
(3) Penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh
digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.
(4) Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara/daerah adalah hak
negara/daerah.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Anggaran Belanja
Pasal 17
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana
tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(2) Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen
pelaksanaan anggaran, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang
mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah
ditetapkan.
Pasal 18
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berhak untuk menguji,
membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan memerintahkan
pembayaran tagihan-tagihan atas beban APBN/APBD.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pada ayat (1), Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran berwenang :
a. menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih;
b. meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan
dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa;
c. meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
d. membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang
bersangkutan;
e. Memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD.
(3) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan
dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD
bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan
surat bukti dimaksud.
Pasal 19
(1) Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara
Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bendahara Umum Negara /Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban untuk :
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam
perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara;
e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
Pasal 20
(1) Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBD dilakukan oleh Bendahara
Umum Daerah.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bendahara Umum Daerah berkewajiban untuk :
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah;
e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 21
(1) Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang
dan/atau jasa diterima.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat
diberikan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran.
(3) Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang
dikelolanya setelah :
a. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran;
c. Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
(4) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan pada ayat (3) tidak
dipenuhi.
(5) Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakannya.
(6) Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan pemerintah.
BAB IV
PENGELOLAAN UANG
Bagian Pertama
Pengelolaan Kas Umum Negara/Daerah
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengatur dan
menyelenggarakan rekening pemerintah.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan rekening pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Menteri Keuangan membuka Rekening Kas Umum Negara.
(3) Uang negara disimpan dalam Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
(4) Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran negara, Bendahara
Umum Negara dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran
pada bank umum.
(5) Rekening Penerimaan digunakan untuk menampung penerimaan negara setiap hari.
(6) Saldo Rekening Penerimaan setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke
Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
(7) Dalam hal kewajiban penyetoran tersebut secara teknis belim dapat dilakukan setiap
hari, Bendahara Umum Negara mengatur penyetoran secara berkala.
(8) Rekening Pengeluaran pada bank umum diisi dengan dana yang bersumber dari
Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
(9) Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan
pemerintahan yang telah ditetapkan dalam APBN.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas sana yang disimpan
pada bank sentral.
(2) Jenis dana, tingkat bunga dan/atau jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
serta biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank sentral,
ditetapkan berdasarkan kesepakatan Gubernur bank sentral dengan Menteri
Keuangan.
Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat/Daerah berhak memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana
yang disimpan pada bank umum.
(2) Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh Pemerintah Pusat/Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tingkat suku bunga dan/atau jasa giro yang
berlaku.
(3) Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada bank umum
yang bersangkutan.
Pasal 25
(1) Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh Pemerintah merupakan Pendapatan
Negara/Daerah.
(2) Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum dibebankan
pada Belanja Negara/Daerah.
Pasal 26
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam hal tertentu dapat
menunjuk badan lain untuk melaksanakan penerimaan dan/atau pengeluaran negara
untuk mendukung kegiatan operasional kementerian negara/lembaga.
(2) Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam suatu
kontrak kerja.
(3) Badan lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkewajiban
menyampaikan laporan secara berkala kepada Bendahara Umum Negara mengenai
pelaksanaan penerimaan dan/atau pengeluaran sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya.
Pasal 27
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Rekening Pemerintah Daerah, Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah membuka Rekening Kas Umum Daerah pada bank yang
ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota.
(2) Dalam pelaksanaan operasional Penerimaan dan Pengeluaran Daerah, Bendahara
Umum Daerah dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran
pada bank yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3) Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
menampung Penerimaan Daerah setiap hari.
(4) Saldo Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap akhir hari
kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Daerah.
(5) Rekening Pengeluaran pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan
dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Daerah.
(6) Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membaiayai kegiatan
pemerintahan yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pasal 28
(1) Pokok-pokok mengenai pengelolaan uang negara/daerah diatur dengan peraturan
pemerintah setealh dilakukan konsultasi dengan bank sentral.
(2) Pedoman lebih lanjut mengenai pengelolaan uang negara/daerah sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berkaitan dengan
pengelolaan uang daerah selanjutnya diatur dengan peraturan daerah.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerimaan Negara/Daerah oleh Kementerian Negara/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 29
(1) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening
untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan kementerian negara/lembaga
yang bersangkutan setelah memperoleh persetujuan dari Bendahara Umum Negara.
(2) Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk menatausahakan
penerimaan negara di lingkungan kementerian negara/lembaga.
(3) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat memerintahkan
pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30
(1) Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan rekening untuk
keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Gubernur/bupati/walikota mengangkat bendahara untuk menatausahakan penerimaan
satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Uang Persediaan untuk Keperluan Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 31
(1) Menteri/pimpinan lembaga dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan
pengeluaran di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(2) Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk mengelola uang yang harus
dipertanggungjawabkan dalam rangka pelaksanaan pengeluaran kementerian
negara/lembaga.
(3) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat memerintahkan
pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 32
(1) Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan rekening untuk
keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan satuan kerja perangkat daerah.
(2) Gubernur/bupati/walikota mengangkat bendahara untuk mengelola uang yang harus
dipertanggungjawabkan dalam rangka pelaksanaan pengeluaran satuan kerja
perangkat daerah.
BAB V
PENGELOLAAN PIUTANG DAN UTANG
Bagian Pertama
Pengelolaan Piutang
Pasal 33
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah
Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang
tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada lembaga asing
sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.
(3) Tata cara pemberian pinjaman atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 34
(1) Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja, dan kekayaan
negara/daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/daerah diselesaikan
seluruhnya dan tepat waktu.
(2) Piutang negara/daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu,
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 35
Piutang negara/daerah jenis tertentu mempunyai hak mendahulu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 36
(1) Penyelesaian piutang negara/daerah yang timbul sebagai akibat hubungan
keperdataan dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali mengenai piutang
negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
(2) Penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut piutang
negara ditetapkan oleh:
a. Menteri Keuangan, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati tidak lebih
dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. Presiden, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah);
c. Presiden, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, jika bagian
piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut
piutang Pemerintah Daerah ditetapkan oleh:
a. Gubernur/bupati/walikota, jika bagian piutang daerah yang tidak disepakati tidak
lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. Gubernur/bupati/walikota, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, jika bagian piutang daerah yang tidak disepakati lebih dari Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Perubahan atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 37
(1) Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari
pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya
diatur tersendiri dalam undang-undang.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang menyangkut piutang
Pemerintah Pusat, ditetapkan oleh:
a. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);
b. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
sampai dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
c. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari
Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
(3) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang menyangkut piutang
Pemerintah Daerah, ditetapkan oleh:
a. Gubernur/bupati/walikota untuk jumlah sampai dengan Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
b. Gubernur/bupati/walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
untuk jumlah lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Perubahana atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan dengan undang-undang.
(5) Tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang negara/daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta dalam Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Uang
Pasal 38
(1) Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri
Keuangan untuk mengadakan utang negara atau menerima hibah yang berasal dari
dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dengan Undang-undang APBN.
(2) Utang/hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diteruspinjamkan kepada
Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD.
(3) Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Belanja Negara.
(4) Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari dalam
negeri maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah luar negeri kepada
Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 39
(1) Gubernur/bupati/walikota dapat mengadakan utang daerah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah menyiapkan pelaksanaan pinjaman
daerah sesuai dengan keputusan gubernur/bupati/walikota.
(3) Biaya berkenaan dengan pinjaman dan hibah daerah dibebankan pada Anggaran
Belanja Daerah.
(4) Tata cara pelaksanaan dan penatausahaan utang negara/daerah diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 40
(1) Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima)
tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.
(2) Kedaluwarsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang
berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa
kedaluwarsa.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembayaran
kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah.
BAB VI
PENGELOLAAN INVESTASI
Pasal 41
(1) Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat
ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk saham, surat
utang, dan investasi langsung.
(3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(4) Penyertaan modal pemerintah pusat pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
(5) Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta
ditetapkan dengan peraturan daerah.
BAB VII
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
Pasal 42
(1) Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara.
(2) Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Barang bagi kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya.
(3) Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah Kuasa
Pengguna Barang dalam lingkungan kantor yang bersangkutan.
Pasal 43
(1) Gubernur/bupati/walikota menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah melakukan pengawasan atas
penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Barang bagi satuan kerja
daerah yang dipimpinnya.
Pasal 44
Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan
menatausahakan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya dengan
sebaik-baiknya.
Pasal 45
(1) Barang milik negara/ daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
(2) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara jual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah
mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Pasal 46
(1) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak
termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah
disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
yang jika status kepemilikannnya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
c. pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Presiden.
(3) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 47
(1) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak
termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah
disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
yang jika status kepemilikannnya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
c. pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota.
Pasal 48
(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam
hal-hal tertentu.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 49
(1) Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah
Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik
Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2) Bangunan milik negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan secara tertib.
(3) Tanah dan bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan, wajib
diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota
untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah.
(4) Barang milik negara/daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai
pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah.
(5) Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk
mendapatkan pinjaman.
(6) Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan barang milik
negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN PENYITAAN UANG DAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
DAN/ATAU YANG DIKUASAI NEGARA/DAERAH
Pasal 50
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah
maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
BAB IX
PENATAUSAHAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN APBN/APBD
Bagian Pertama
Akuntansi Keuangan
Pasal 51
(1) Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum
Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan
ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
(2) Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna
Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan
ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam
tanggung jawabnya.
(3) Akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk
menyusun laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
Bagian kedua
Penatausahaan Dokumen
Pasal 52
Setiap orang dan/atau badan yang mengusai dokumen yang berkaitan dengan
perbendaharaan negara wajib menatausahakan dan memelihara dokumen tersebut dengan
baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Keuangan
Pasal 53
(1) Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara
Umum Negara/Bendahara Umum Daerah.
(2) Kuasa Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya.
(3) Kuasa Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Presiden dari segi hak
dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang
dilakukannya.
(4) Bendahara Umum Daerah bertanggung jawab kepada gubernur/bupati/walikota dari
segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
yang dilakukannya.
Pasal 54
(1) Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada
Presiden/gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada
dalam penguasaannya.
(2) Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada
Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
Bagian Keempat
Laporan Keuangan
Pasal 55
(1) Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2) Dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan
keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/lembaga masingmasing.
b. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada
Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
c. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Arus Kas
Pemerintah Pusat;
d. Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah Pusat dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara.
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Presiden
kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
(4) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan
sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah
diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada
gubernur/bupati/walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
(2) Dalam menyusun laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi laporan
realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
b. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada
kepala satuan kerja pengelola daerah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
tahun anggaran berakhir.
c. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum
Daerah menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Daerah.
d. Gubernur/bupati/walikota selaku wakil pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan
perusahaan daerah.
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Presiden kepada gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(4) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan
sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah
diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan
Bagian Kelima
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
Pasal 57
(1) Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi
pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
(2) Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun standar akuntansi
pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku umum.
(3) Pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, dan masa kerja Komite Standar
Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
BAB X
PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
Pasal 58
(1) Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan
menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara
menyeluruh.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
BAB XI
PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
Pasal 59
(1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian
tersebut.
(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah
dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam
kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi
kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.
Pasal 60
(1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor
kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu
diketahui.
(2) Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri
bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) segera
dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara
dimaksud.
(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak
dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang
bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 61
(1) Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala satuan
kerja perangkat daerah kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian
daerah itu diketahui.
(2) Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri
bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dapat
segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah
dimaksud.
(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak
dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, gubernur/bupati/walikota yang
bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 62
(1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
(2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara
diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.
Pasal 63
(1) Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
(2) Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 64
(1) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan
untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana.
(2) Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Pasal 65
Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk
membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya
kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Pasal 66
(1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
dikenai tuntutan ganti kerugian negara/daerah berada dalam pengampuan, melarikan
diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola
atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain yang bersangkutan.
(2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti
kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila
dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan
pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang
memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai
adanya kerugian negara/daerah.
Pasal 67
(1) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah sebagaimana diatur dalam Undangundang
ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik negara/daerah, yang
berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat
lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemeritnahan.
(2) Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku
pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam
undang-undang tersendiri.
BAB XII
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
Pasal 68
(1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak
dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan
kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
(3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh
Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung
jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
(4) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh
pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala
satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan
yang bersangkutan.
Pasal 69
(1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.
(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan
Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja
dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian
Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
(3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikonsolidasikan dalam
rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang
bersangkutan.
(4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan
yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
(5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat
atau badan lain.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat digunakan
langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 70
(1) Jabatan fungsional bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
(2) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis
akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang ini
dilaksanakan selambat-lambatnya pada tahun anggaran 2008 dan selama pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan,
digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(3) Penyimpanan uang negara dalam Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilaksanakan secara bertahap, sehingga
terlaksana secara penuh selambat-lambatnya pada tahun 2006.
(4) Penyimpanan uang daerah dalam Rekening Kas Umum Daerah pada bank yang telah
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilaksanakan secara bertahap,
sehingga terlaksana secara penuh selambat-lambatnya pada tahun 2006.
Pasal 71
(1) Pemberian bunga dan/atau jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
mulai dilaksanakan pada saat penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan Surat
Utang Negara sebagai instrumen moneter.
(2) Penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan Surat Utang Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai tahun 2005.
(3) Selama Surat Utang Negara belum sepenuhnya menggantikan Sertifikat Bank
Indonesia sebagai instrumen moneter, tingkat bunga yang diberikan adalah sebesar
tingkat bunga Surat Utang Negara yang berasal dari penyelesaian Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Perbendaharaan
Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2860) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 73
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-undang ini sudah selesai selambatlambatnya
1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO