Jumat, 30 Juli 2010

PNBP 2

PNBP

Definisi Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1997
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari perpajakan.
Kelompok pnbp
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah a.l. penerimaan jasa giro dan penerimaan sisa anggaran tahun anggaran yang lalu;
b. Penerimaan dari pemanfaatan Sumber Daya Alam seperti penerimaan royalti dari sektor kehutanan, pertambangan dan perikanan.
c. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan berupa penerimaan dari dividen dan hasil penjualan saham Pemerintah.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah seperti pemberian hak atas kekayaan intelektual, pemberian visa, paspor.
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi seperti penerimaan lelang, barang rampasan dan denda.
f. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri
Sifat pnbp:
a. Umum yaitu tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, seperti hasil penjualan barang inventaris kantor, hasil penyewaan BMN, jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan.
b. Fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya.
Macam dan ragamnya berbeda antara satu kementerian negara/lembaga dengan kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.

Tarif:
Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1997
Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam UU atau PP dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
Pasal 6 PP No. 22 tahun 1997
Jenis PNBP yang dilakukan oleh K/L yang belum tercakup dalam lampiran PP akan disusulkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lampiran PP ini dan pencantumannya dilakukan dengan PP tersendiri.

Sistem pemungutan
1. Ditetapkan oleh instansi pemerintah
PNBP menjadi terhutang sebelum wajib bayar menerima manfaat atas kegiatan pemerintah, seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, dll.
2. Dihitung sendiri oleh wajib bayar (self assessment).
PNBP menjadi terhutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya alam, maka penentuan jumlah PNBP yang terhutang dapat dipercayakan kepada wajib bayar yang bersangkutan untuk menghitung sendiri dalam rangka membayar dan melaporkan.

PENYETORAN
Pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997 Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara
Pasal 16 ayat 2 UU No. 1 Tahun 2004 Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara tepat pada waktunya
Pasal 9 Huruf d UU No. 17 Tahun 2003 Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya, antara lain mempunyai tugas untuk melaksanakan pemungutan PNBP dan menyetorkannya ke Kas Negara

PENGELOLAAN
Pasal 5 UU No. 20 Tahun 1997 Seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN (on budget)
Pasal 16 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2004 Penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.

PENGGUNAAN
Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1997 Dengan tetap memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, sebagian dana PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tertentu meliputi :
1. Penelitian dan pengembangan teknologi
2. Pelayanan kesehatan
3. Pendidikan dan pelatihan
4. Penegakan hukum
5. Pelayanan yang melibatkan kekayaan intelektual tertentu
6. Pelestarian Sumber Daya Alam

Satker PNBP
Suatu instansi yang mempunyai PNBP fungsional dapat menggunakan sebagian PNBP tersebut untuk membiayai operasional Satker yaitu untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan dengan jenis PNBP setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan.
Penggunaan PNBP dilakukan secara selektif dan PNBPnya telah disetorkan ke kas negara serta pengalokasian dana telah tertuang di dalam DIPA.

RENCANA PNBP
Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1997
Instansi Pemerintah yang ditunjuk untuk menagih dan atau memungut PNBP wajib menyampaikan target (rencana) PNBP secara tertulis kepada Menteri Keuangan.
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004
Pejabat Instansi pemerintah wajib melaksanakan penyusunan target (rencana) PNBP dalam lingkungan instansi pemerintah yang bersangkutan.
PENYUSUNAN TARGET PNBP
Target atau Rencana PNBP merupakan hasil penghitungan atau penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang diperkirakan akan diterima dalam 1 (satu) tahun yang akan datang (1 Januari s.d. 31 Desember tahun yang akan datang).

STARTEGI PENINGKATAN PNBP
I. INTENSIFIKASI PNBP
• Menyempurnakan ketentuan perundangan pengelolaan PNBP.
• Melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholders agar PNBP dikelola sesuai peraturan perundangan yang berlaku
• Meminta K/L untuk menyetorkan seluruh PNBP ke Kas Negara
• Optimalisasi pemungutan PNBP antara lain dengan:
 mengoptimalkan penerimaan dari sektor migas melalui peningkatan produksi/lifting minyak mentah dan efisiensi dalam cost recovery
 meningkatkan produksi komoditas tambang dan mineral serta perbaikan peraturan di sektor pertambangan;
 menggali potensi penerimaan di sektor kehutanan dengan tetap mempertimbangkan program kelestarian lingkungan hidup;
 mengoptimalkan deviden BUMN dengan tetap mempertimbangkan peningkatan efisiensi dan kinerja BUMN melalui optimalisasi investasi (capital expenditure);
• Meningkatkan peran BPKP dalam Pemeriksaan di bidang PNBP
• Percepatan penyelesaian PP tentang jenis dan tarip PNBP yang berlaku pada kementerian Negara/Lembaga
• Penyederhaan prosedur pelayanan PNBP oleh KL mis penerapan one stop service
II. EKSTENSIFIKASI PNBP
• Meminta K/L yang belum mempunyai PP untuk segera mengusulkan PP PNBP kepada Menteri Keuangan.
• Meminta K/L yang sudah mempunyai PP untuk menginventarisir kembali seluruh potensi jenis PNBP dan menempatkannya dalam Peraturan Pemerintah (Hal ini telah dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui surat nomor S-305/MK.02/2008 tanggal 23 Juni 2008)
• Mengevaluasi besaran tarif PNBP yang sudah tidak wajar .

SATKER PK BLU
• Penatausahaan PNBP telah memasuki babak baru, yaitu dengan dikenal nya instansi pemerintah yang mengelola PNBP dengan cara Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) sesuai dengan pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004.
• Pengaturan lebih lanjut mengenai BLU terdapat pada PP Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.
• BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Ada 3 (tiga) rumpun instansi pemerintah yang dapat melaksanakan PK BLU, yaitu yang menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
1. Penyedia barang dan/atau jasa layanan umum;
2. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
3. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Satker PK-BLU diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat dalam mengelola sumber daya serta keuangannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Satker yang menerapkan PK-BLU dapat :
1. Menggunakan langsung pendapatannya tanpa harus disetor terlebih ke Kas Negara;
2. Mengadakan perjanjian utang piutang;
3. Mengadakan kerjasama operasional dengan pihak lain;
4. Menggunakan surplus untuk tahun berikutnya, sedangkan bila defisit dapat dimintakan dari APBN;
5. Pegawai dapat dari PNS atau non PNS;
6. Remunerasi sesuai tanggung jawab dan profesionalitas.

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
(PNBP)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelaksanaan Pendapatan Negara
Dosen pembimbing: M. Arifin

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, yang salah satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja/pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19 Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga.
Dalam makalah ini akan menjurus pada pembahasan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak atau yang sering disebut PNBP.



BAB II
ISI

A. Dasar Hukum
Setiap pemungutan pendapatan/penerimaan negara oleh pemerintah pusat maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dari masyarakat, maka setiap pungutan pendapatan/penerimaan negara harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Pemungutan pendapatan/penerimaan negara berdasarkan keadilan yaitu sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pemungutan secara umum dan merata serta pelaksanaan pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak membeda-bedakan.
2. Pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus berdasarkan undang-undang.
Untuk dapat mewujudkan syarat diatas, maka dalam hal PNBP harus terdapat dasar hukum. Dasar hukum PNBP diantaranya :
1. Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
2. Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2004 tentang tatacara penyampaian rencana dan laporan realisasi penerimaan negara bukan pajak.
3. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286).

B. Definisi
Menurut UU nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP pasal 1 angka 1, Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. PNBP diantaranya adalah sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Setiap anggaran kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersifat umum tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, antara lain seperti penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara pada bank pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan, selain penerimaan umum tersebut masih ada lagi PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan funsional tersebut terdapat pada sebagian besar kementerian negara/lembaga, namun macam dan ragamnya berbeda antara satu kementerian negara/lembaga dengan kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.

C. Rencana
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2004 tentang tatacara penyampaian rencana dan laporan realisasi penerimaan negara bukan pajak pasal 1 angka 5, Rencana PNBP adalah hasil penghitungan/penetapan PNBP yang diperkirakan akan diterima dalam 1 (satu) tahun yang akan datang.
Pejabat Instansi Pemerintah wajib menyampaikan Rencana PNBP Tahun Anggaran yang akan datang di lingkungan Instansi Pemerintah yang bersangkutan kepada Menteri secara tertulis dan wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Juli Tahun Anggaran berjalan. Jika Pejabat Instansi Pemerintah tidak atau terlambat menyampaikan Rencana PNBP Menteri dapat menetapkan Rencana PNBP Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Jika terdapat revisi Rencana PNBP tahun yang akan dating, Pejabat Instansi Pemerintah wajib menyampaikan revisi Rencana PNBP dimaksud paling lambat tanggal 5 Agustus Tahun Anggaran yang bersangkutan kepada Menteri. Selain itu jika terdapat revisi Rencana PNBP Tahun Anggaran berjalan, Pejabat Instansi Pemerintah wajib menyampaikan revisi Rencana PNBP dimaksud paling lambat tanggal 15 Agustus Tahun Anggaran berjalan atau sebelum penyusunan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran berjalan kepada Menteri. Apabila Pejabat Instansi Pemerintah belum menyampaikan revisi Rencana PNBP, Menteri dapat menetapkan Rencana PNBP untuk masing-masing Instansi Pemerintah.


D. Jenis
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa kelompok PNBP, meliputi jenis - jenis penerimaan sebagai berikut :
a. Penerimaan yang bersumbet dari pengelolaan dana pemerintah.
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
c. Penerimaan dari hasil-hasil kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi.
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang - undang tersendiri.

E. Tarif
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak pasal 3 ayat (1), disebutkan bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Tarif tersebut ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.

F. Pemungutan dan Penyetoran
Pada prinsipnya, seluruh jenis dan penyetoran PNBP diatur dengan undang-undang. Namun, apabila undang-undang belum menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP terhutang, maka Menteri Keuangan dapat menunjuk instansi pemerintah untuk tujuan dimaksud. Instansi pemerintah yang ditunjuk tersebut wajib menyampaikan kepada Menteri Keuangan secara tertulis dan berkala, yaitu rencana PNBP sekurang - kurangnya satu kali dalam satu tahun anggaran dan laporan realisasi PNBP sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
Jumlah penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditentukan dengan cara:
a. ditetapkan oleh Instansi Pemerintah; atau
b. dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.
Yang mana terutangnya PNBP diatur dengan Peraturan Pemerintah dan penetapan jumlah PNBP yang terutang menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan dan tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.

G. Pengelolaan dan Penggunaan
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebagian dana dari suatu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan, diantaranya :
a. penelitian dan pengembangan teknologi;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. penegakan hukum;
e. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu;
f. pelestarian sumber daya alam.

H. Laporan realisasi PNBP
Laporan Realisasi PNBP triwulanan disampaikan secara tertulis oleh Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan yang bersangkutan berakhir dan laporan perkiraan realisasi PNBP triwulan IV disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 15 Agustus Tahun Anggaran berjalan.
Ketentuan tentang tatacara penyampaian laporan realisasi PNBP diatur dalam pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 yang menyebutkan bahwa Satuan kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan pertanggungjawaban penerimaan negara dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran yang dihasilkan melalui Sistem Akunatnsi Instansi.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Semua pendapatan negara digunakan sebagai sumber penerimaan dalam APBN yang nantinya akan digunakan untuk membiayai belanja pemerintah. Pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta hibah. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan negara adalah semua penerimaan negara yang tidak bersumber dari perpajakan. PNBP diantaranya adalah sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Menurut sifat, PNBP ada 2, yakni PNBP umum dan fungsional. Sedangkan menurut jenis ada penerimaan atas hasil sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta PNBP lainnya.
Semua PNBP langsung disetor ke kas negara dan dikelola dalam sistem APBN, teteapi sebagian dana dari suatu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan

BEA MASUK DAN PAJAK EKSPOR

BEA MASUK DAN PAJAK EKSPOR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelaksanaan Pendapatan Negara
Dosen pembimbing: M. Arifin

BAGIAN I
BEA MASUK
1. Latar Belakang
Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) pada setiap produk atau barang impor. Sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah tidak memungut bea demi mendukung industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Produk mentah seperti beberapa jenis kayu, rotan dsb pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan ekspor dengan maksud agak para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi. Filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia.
2. Definisi
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Sebagai salah satu jenis pajak berdasar asas domisili, Bea masuk menggunakan sistem tarif advalorum yang besarnya diatur oleh Menteri Keuangan dan dicantumkan dalam Harmonized System. Barang yang diimpor ke Indonesia wajib membayar bea masuk sebelum dikeluarkan dari kawasan pabean, kecuali dalam beberapa hal tertentu yang diatur dalam undang-undang.

3. Perhitungan
Jenis dan kondisi barang impor akan sangat mempengaruhi pengenaan bea masuknya.Bea masuk atas barang impor dihitung dari unsur harga barang (Cost), unsur Asuransi (Insurance) dan biaya angkut (Freight) yang dikonversi dalam satuan kurs Rupiah dengan nilai tukar yang berlaku pada hari dihitungnya bea masuk tersebut. Hasil perhitungan dari ketiga unsur tersebut disebut Nilai Pabean yang selanjutnya besarnya bea masuk akan didapatnya dengan dikalikan besaran bea masuk.

4. Bea Masuk Lainnya
Bea Masuk Anti Dumping : Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal :
a. harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya
b. impor barang tersebut :
1) menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut
2) mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
3) menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri
Yang dimaksud dengan "harga ekspor" adalah harga yang seharusnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke Daerah Pabean Indonesia. Dalam hal diketahui adanya hubungan antara importir dan eksportir atau pihak ketiga atau karena alasan tertentu harga ekspor diragukan kebenarannya, harga ekspor ditetapkan berdasarkan :
1) harga dari barang impor dimaksud yang dijual kembali untuk pertama kali kepada pembeli yang bebas; atau
2) harga yang wajar, dalam hal tidak terdapat penjualan kembali kepada pembeli yang bebas atau tidak dijual kembali dalam kondisi seperti pada waktu diimpor.
Yang dimaksud dengan "nilai normal" adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapt digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasar :
1) harga tinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga;atau
2) harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar (constructed value)
Yang dimaksud dengan "barang sejenis" adalah barang yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor dimaksud atau barang yang memiliki karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi meneyerupai barang impor dimaksud.

5. Kebijakan Tarif Bea Masuk
Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk, dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah untuk:
1) Barang impor dipungut Bea Masuk
a. Barang impor hasil pertanian tertentu
b. Barang impor termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai tarif dan Perdagangan; dan
c. Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1):
2) Barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau
3) Barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan.


BAGIAN II
PAJAK EKSPOR

1. Latar Belakang
Berkembangnya dunia perdagangan sekarang ini membuat batas-batas alur dagang semakin kecil dan terasa perlunya adanya kerja sama dalam hal perdagangan dengan dunia internasional. Suatu negara untuk dapat mencukupi kebutuhan dimana tidak bisa diproduksi sendiri harus mengimpor, sebaliknya ketika dunia luar mengharap produk dari negara lain maka negara yang memiliki produk dalam kapasitas tertentu akan melakukan ekspor.
Namun, dalam kegiatan ekspor, pemerintah perlu mengawasi dan membuat peraturan-peraturan yang bersifat mengatur agar ekspor terkendali, termasuk peraturan dalam hal perpajakan bagi kegiatan ekspor. Di bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pajak ekspor.

2. Definisi
Pajak Ekspor adalah pungutan resmi dari pemerintah untuk kegiatan ekspor. Ekspor adalah kegiatan menjual barang ke luar negri.
3. Obyek
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa kena pajak ke luar daerah pabean. Jenis jasa Kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN adalah :
1) Jasa maklon.
Jasa maklon adalah jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Batasan Jasa maklon yang termasuk Ekspor JKP :
a. Pemesan atau penerima JKP berada di luar daerah pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap.
b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP.
c. Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan.
d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan
e. Pengusaha Jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar Daerah Pabean.
Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon, tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN.

2) Jasa perbaikan dan perawatan Batasannya :
a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.
3) Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Batasannya :

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.
b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

4. Tarif
Besarnya PPN adalah Tarif X DPP
a. Tarifnya adalah 0%
b. DPP nya adalah Penggantian.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena ekspor JKP, tetapi tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Saat terutangnya PPN adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.
PKP yang melakukan Ekspor JKP wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak. Pemberitahuan Ekspor JKP yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Yang dimaksud dengan tarif adalah pajak ekspor atau impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap produk ekspor atau impor dari negara lain yang dibawa ke dalam atau ke luar daerah pabean
Jenis-jenis tarif pajak, yaitu:
1. Ad Valorum atau bea Harga, besarnya pajak yang dipungut ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai produk atau harga tarif tertinggi.
2. Tarif Spesifik, besarnya pajak diterapkan untuk tiap unit produk atau harga satuan atas suatu barang, dipakai untuk barang-barang tertentu, misalnya kemeja (dihitung per satuan kemeja dengan tarif dalam nominal Rupiah yang sudah pasti). Digunakan untuk melindungi industri dalam negeri sebagai bentuk proteksi.
3. Compound Tarif. Merupakan kombinasi dari tarif Ad Valorum dan Tarif Spesifik. Tarif ini biasanya diterapkan di bidang cukai (dari 10% hingga 250%) juga berdasarkan spesifik menurut jumlah produk yang dihasilkan sehingga dapat diketahui, misalnya harga per batang hasil tembakau.
4. Tarif Antidumping, merupakan penambahan besar tarif daripada yang berlaku untuk perhitungan bea masuk. Hal ini diterapkan sebagai suatu hukuman atau sanksi atas produk tertentu suatu negara yang diekspor ke negara yang menggunakan tarif tersebut.
5. Tarif Pembalasan atau tarif Restorsi, merupakan penerapan tarif yang bersifat resiprokal, berkaitan dengan pengenaan tarif yang sama.
6. Tarif Diferensial, merupakan tarif maximum dan tarif minimum atas produk-produk tertentu antara negara-negara yang mempunyai hubungan baik atau memiliki kemitraan misalnya antara 2 anggota Asean, seperti Indonesia-Malaysia.
7. Tarif Preferensi adalah tarif yang berlaku untuk negara-negara yang tergabung dalam uni atau asosiasi dan berbeda dengan tarif bea masuk untuk negara lainnya.
Dengan adanya Udang-Undang Nomor 7 tahun 1994, tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization dan dilanjutkan dengan World Customs Organization, besaran tarif pajak maximum yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan bea masuk adalah 0% paling tinggi 40%. Dimana penerapan besaran tarif, yaitu:
1. Pembebasan bea masuk atau keringanan bea masuk antara 0% hingga 5% dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok seperti gula, beras, mesin-mesin dan alat-alat pertahanan.
2. Tarif sedang antara 5% sampai 20%, dikenakan untuk bahan setengah jadi dan barang-barang lain di mana produksi dalam negri sudah mencukupi.
Tarif tinggi di atas 20% dikenakan untuk barang mewah dan barang-barang lainnya yang sudah diproduksi di dalam negri dan bukan barang kebutuhan pokok. (Welly Cahyadi).

5. Tata cara Pelunasan Melalui Kantor Pabean
Sehubungan telah diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 666/KMK.017/1996 tanggal 2 Desember 1996 tentang Penetapan Besarnya Tarip dan Tatacara serta Penyetoran Pajak Ekspor, maka untuk meningkatkan efektifitas penerimaan negara disektor pajak ekspor, dengan ini disampaikan petunjuk pelaksanaan tentang Tatacara Pelunasan Pajak Ekspor Melalui Kantor Pabean sebagai berikut :
1. Ketentuan Umum
a. Terhadap Ekspor barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 666/KMK.017/1996 tanggal 2 Desember 1996 dikenakan Pajak Ekspor.
b. Pelunasan Pajak Ekspor dapat dilakukan di Kantor Pabean dalam hal :
1) Pelunasan Pajak Ekspor dilakukan diluar hari dan jam kerja Bank Devisa; atau
2) Ekspor dilakukan dengan menggunakan PEBT.
c. Perhitungan Pajak Ekspor sebagai berikut :
1) Terhadap barang ekspor yang dikenakan Tarip Advalorum
Pajak Ekspor = Tarip Pajak Ekspor X Harga Patokan X Jumlah Satuan Barang X Kurs;
2) Terhadap Barang Ekspor yang dikenakan Tarip Spesifik
Pajak Ekspor = Tarip Pajak Ekspor X Jumlah Satuan Barang X Kurs
3) Terhadap barang Ekspor sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 666/KMK.017/1996
Pajak Ekspor = Volume X Tarip Pajak Ekspor X ( Harga Ekspor - Harga Dasar ) X Kurs

d. Pelunasan Pajak Ekspor dapat dilakukan dengan :
1) Tunai; atau
2) menyerahkan Surat Sanggup Bayar (SSB0, yang pelunasannya baru dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal PEB didaftarkan di Kantor Pabean.
e. Atas pelunasan Pajak Ekspor Kantor Pabean menerbitkan Surat Tanda Bukti Setor (STBS ) sesuai contoh pada lampiran Surat Edaran ini.
f. Dalam hal terjadi pelunasan Pajak Ekspor melewati jangka waktu yang ditetapkan, Eksportir dikenakan biaya Administrasi 2% (dua persen) per bulan dari nilai Pajak Ekspor yang terhutang, bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh.
g. Dalam hal PEB atau PEBT dibatalkan oleh Eksportir Pajak Ekspor dinyatakan tidak terhutang, dan SSB dikembalikan kepada yang bersangkutan. Atas pembatalan PEB/PEBT Eksportir dikenakan biaya Administrasi 2% (dua persen) per bulan dari nilai Pajak Ekspor yang terhutang, bagian dari bulan dihitung sebagai satu bulan penuh.
h. Apabila dari hasil penelitian kemudian ternyata terdapat kekurangan pelunasan Pajak Ekspor maka atas kekurangan tersebut dilakukan penagihan oleh Kantor Pabean.

2. Tata Cara Pelunasan Pajak Ekspor di Kantor Pabean
a. Kegiatan Eksportir
1) Mengisi berkas PEB/PEBT secara lengkap dan benar serta menyerahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai.
2) Menyerahkan SSB dalam hal Pajak Ekspor tidak dilunasi secara tunai
3) Menyerahkan Uang setoran Pajak Ekspor sebesar jumlah Pajak Ekspor yang wajib dibayar sesuai perhitungan dalam PEB/PEBT, dalam hal Pajak Ekspor dilunasi secara tunai, dan setelah itu menerima kembali PEB/PEBT lengkap dengan lampiran-lampiran beserta Surat Tanda Bukti Seto (STBS) lembar ke I.
4) Menerima kembali PEB/PEBT lengkap dengan lampiran-lampiran dalam hal Pajak Ekspor tidak dilunasi secara tunai.
5) Dalam hal diserahkan SSB, melunasi Pajak Ekspor dalam jangka waktu 30 hari setelah tanggal pendaftaran PEB/PEBT dan setelah itu menerima kembali SSB dari Pejabat Bea dan Cukai.

b. Kegiatan Kantor Pabean
1) Dalam hal Pajak Ekspor dilunasi secara tunai, menerima PEB/PEBT lengkap dengan lampiran-lampirannya beserta uang setoran Pajak Ekspor sebesar jumlah Pajak Ekspor yang wajib dibayar sesuai perhitungan dalam PEB/PEBT.
2) Dalam hal Pajak Ekspor tidak dilunasi secara t unai, menerima PEB/PEBT lengkap beserta lampiran-lampirannya beserta SSB.
3) Meneliti kebenaran perhitungan Pajak Ekspor seperti yang tercantum dalam PEB/PEBT, serta mencocokkan dengan jumlah uang setoran / SSB yang terlampir.
4) Dalam hal dari hasil penelitian perhitungan Pajak Ekspor dijumpai kesalahan perhitungan, Pejabat Bea dan Cukai memberitahukan secara tertulis kepada Eksportir/kuasanya untuk mengadakan perubahan atau pembetulan perhitungan Pajak Ekspor dalam PEB/PEBT sesuai ketentuan yang berlaku, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah keberangkatan sarana pengangkut dengan ketentuan:
a) dalam hal pelunasan Pajak Ekspor dilakukan secara tunai, kekurangan pembayaran Pajak Ekspor dilunasi pada saat menyerahkan PEB/PEBT yang telah dilakukan perubahan/pembetulan;
b) dalam hal pelunasan Pajak Ekspor tidak dilunasi secara tunai (dengan menyerahkan SSB), Eksportir menyerahkan SSB baru sesuai perhitungan Pajak Ekspor yang 3 benar bersama-sama pada saat menyerahkan PEB/PEBT yang telah dilakukan perubahan/pembetulan.
5) Dalam hal Pajak Ekspor dibiayai tunai menerbitkan STBS rangkap tiga dengan perincian :
a) Lembar ke I untuk Eksportir.
b) Lembar ke II untuk Direktorat Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak pada Ditjen Lembaga Keuangan.
c) Lembar ke III untuk Kantor Pabean.
6) Menyetorkan Pajak Ekspor ke Kas Negara melalui Bank Devisa pada hari kerja berikutnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ekspor (SSPE) dalam rangkap tiga sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor:666/KMK.017/1996.
7) Membuat laporan penerimaan Pajak Ekspor setiap bulan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai c.q. Direktorat Perencanaan Penerimaan melalui Kantor Wilayah.
8) Mengembalikan SSB kepada Eksportir atau kuasanya apabila Pajak telah dilunasi.
9) Mengenakan biaya administrasi kepada Eksportir sebesar 2% per bulan dar nilai Pajak Ekspor yang terhutang apabila pelunasannya melewati jangka waktu yang ditetapkan.


3. Penatausahaan Pungutan Pajak Ekspor
Terhadap penerimaan pungutan Pajak Ekspor di lakukan pencatatan dalam Buku Penerimaan Harian Pajak Ekspor yang meliputi kolom-kolom :
a. Nomor dan tanggal PEB/PEBT;
b. Nama / NPWP Eksportir;
c. Jenis Barang;
d. Nomor / Tanggal SSB;
e. Jumlah Pajak Ekspor;
f. Jumlah biaya administrasi;
g. Jumlah Pajak Ekspor + Biaya administrasi;
h. Nomor / tanggal Surat Tanda Bukti Setor (SRBS);
i. Nomor / tanggal Surat Setoran Pajak Ekspor (SSPE);
j. Keterangan

6. Fungsi
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Di samping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengatur guna mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi ini merupakan pelengkap dari fungsi utama. Untuk mencapai suatu tujuan, maka pajak digunakan sebagai alat kebijakan. Pajak dipergunakan untuk memproteksi/ melindungi produksi dalam negeri sehingga dapat bersaing dengan produk-produk dari luar. Apabila pemerintah memiliki sasaran untuk melindungi industri dalam negeri, maka pemerintah dapat memberlakukan tarif pajak yang tinggi terhadap impor/ bea masuk atau menaikkan tarif yang telah ada.
Selain itu pajak juga dapat digunakan untuk menghambat suatu kegiatan perdagangan, misalnya apabila terjadi kelangkaan suatu produk di dalam negeri, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi/ mengurangi jumlah ekspor ke luar negeri.
Pemerintah juga mengenakan pajak yang tinggi terhadap barang/ jasa tertentu yang mempunyai dampak negatif dengan tujuan mengurangi/membatasi jumlah produksi dan konsumsi barang/ jasa tersebut. Misalnya pemerintah menentukan tujuan untuk menghilangkan/ mengurangi kebiasaan mabuk-mabukan, di sini pemerintah dapat menggunakan pajak untuk mencapai hasil tersebut, dengan cara menerapkan pajak yang tinggi terhadap minuman keras sehingga masyarakat tidak mampu lagi.


KESIMPULAN

Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean.
Pajak Ekspor adalah pungutan resmi dari pemerintah untuk kegiatan ekspor.
Jenis jasa Kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN adalah :
1. Jasa maklon.
2. Jasa perbaikan dan perawatan
3. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Fungsi dari bea masuk ataupun Pajak ekspor sebenarnya sama halnya dengan fungsi pajak pada umumnya, yakni sebagai sumber pendapatan bagi negara yang digunakan membiayai belanja negara (budgetair) dan untuk mengatur kaedaan sosial ekonomi pemerintahan (regulerent).




Sumber :

1) http://id.wikipedia.org/wiki/Bea_masuk diakses pada tanggal 30 Juni 2010.
2) http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pabean diakses pada tanggal 30 Juni 2010.

TATA CARA PELAKSANAAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PUSAT

TATA CARA PELAKSANAAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PUSAT
YANG BERASAL DARI BARANG MILIK NEGARA

I. Definisi
Penyertaan modal pemerintah pusat adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

II. Tujuan dilakukannya Penyertaan Modal Pemerintah:
Barang Milik Negara dijadikan Penyertaan Modal Pemerintah Pusat dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.

III. Pertimbangan dilakukannya Penyertaan Modal Pemerintah:
Barang Milik Negara yang dari awal pengadaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah dalam rangka penugasan pemerintah dengan pertimbangan Barang Milik Negara tersebut akan lebih optimal apabila dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.

IV. Barang Milik Negara yang dapat dilakukan Penyertaan Modal Pemerintah:
tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang;
tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggarannya; serta selain tanah dan/atau bangunan.

V. Subjek Pelaksana Penyertaan Modal Pemerintah Pusat.

1. Pihak-pihak yang dapat melaksanakan penyertaan modal pemerintah pusat adalah:
a. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang.
b. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang untuk:
1) Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;
2) Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan.

2. Pihak-pihak yang dapat menerima penyertaan modal pemerintah pusat
a. Badan Usaha Milik Negara,
b. Badan Usaha Milik Daerah,
c. Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.


LAMPIRAN X
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 96/PMK.06/2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGGUNAAN, PEMANFAATAN, PENGHAPUSAN, DAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK NEGARA

VI. Ketentuan dalam pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat yang berasal dari Barang Milik Negara.

1. a. Pengajuan penyertaan modal pemerintah pusat atas Barang Milik Negara yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat dilakukan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.
b. Pengajuan penyertaan modal tersebut pada butir a dilaksanakan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah penetapan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
c. Dalam hal pengajuan penyertaan modal tersebut dilakukan setelah batas waktu tersebut dalam butir b, penerima/calon penerima penyertaan modal dimaksud dikenakan sewa penggunaan Barang Milik Negara terhitung sejak tanggal penetapan status penggunaan sebagaimana dimaksud dalam butir b.
2. Nilai penyertaan modal pemerintah pusat
a. Barang Milik Negara hasil dari pelaksanaan kegiatan anggaran yang dari awal direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki negara, nilainya berdasarkan realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran.
b. Barang Milik Negara selain butir a nilainya didasarkan hasil penilaian yang berpedoman pada Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan ini.
3. Pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat atas Barang Milik Negara yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat, terlebih dahulu harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional pemerintah untuk menentukan kewajaran Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat dibandingkan realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran.
4. Dalam pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat, Pengelola Barang dapat mempersyaratkan adanya pernyataan tidak keberatan dari pemegang saham atau instansi yang dianggap kompeten mewakili pemegang saham.
5. Persyaratan tersebut pada butir 4 tidak diperlukan untuk penyertaan modal pemerintah pusat atas Barang Milik Negara yang dari awal pengadaannya telah direncanakan untuk penyertaan modal pemerintah pusat.
6. Setiap penyertaan modal pemerintah pusat atas Barang Milik Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
7. Pengajuan rancangan peraturan pemerintah penetapan penyertaan modal pemerintah pusat kepada Presiden dilakukan oleh Pengelola Barang.
8. Semua biaya yang timbul dari pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat dibebankan pada penerima penyertaan modal pemerintah pusat.

VII. Tata Cara Pelaksanaan Penyertaan Modal Pemerintah Pusat
Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengguna Barang yang dari awal pengadaannya, sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggarannya, direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat.
a. Pengguna Barang membentuk tim internal yang bertugas antara lain:
1) menyiapkan kelengkapan data administrasi sekurang-kurangnya meliputi:
. dokumen anggarannya.
. nilai realisasi pelaksanaan anggaran,
. hasil audit aparat pengawas fungsional pemerintah,
. berita acara serah terima pengelolaan sementara dari Pengguna Barang kepada penerima penyertaan modal pemerintah pusat.
. 2) melakukan pengkajian.
. 3) menyampaikan laporan hasil kerja tim kepada Pengguna Barang.
b. Pengguna Barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang dengan disertai:
. 1) penjelasan/pertimbangan mengenai usul dimaksud,
. 2) kelengkapan data administrasi tersebut dalam butir a.1),
. 3) hasil kajian tim internal.
c. Pengelola Barang melakukan pengkajian mengenai kelayakan usul Pengguna Barang.
d. Dalam hal berdasarkan kajian tersebut pada butir c, Pengelola Barang menganggap usulan tersebut layak, Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat dimaksud dan menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal tersebut.
e. Persetujuan tersebut dalam butir d mencantumkan nilai Barang Milik Negara yang akan dijadikan penyertaan modal pemerintah pusat, yang perhitungannya didasarkan realisasi pelaksanaan anggaran setelah mempertimbangkan hasil audit.
f. Dalam hal nilai penyertaan modal dimaksud di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Pengelola Barang mengajukan permintaan persetujuan kepada Presiden disertai dengan rancangan peraturan pemerintah mengenai penetapan modal negara dimaksud untuk ditetapkan Presiden.
g. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang penetapan penyertaan modal pemerintah pusat, Pengguna Barang melakukan serah terima barang dengan penerima penyertaan modal pemerintah pusat yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
h. Pengguna Barang menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Pengguna dan Pengelola Barang menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Milik Negara berdasarkan berita acara serah terima barang tersebut dalam butir g.
2. Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada Pengelola Barang.
a. Pengelola Barang mengkaji perlunya penyertaan modal pemerintah pusat sesuai dengan tujuan dan pertimbangan penyertaan modal sebagaimana dimaksud Romawi II dan III dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Kementerian Negara/Lembaga yang bertanggungjawab di bidang pembinaan Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
b. Usulan penyertaan modal dapat diajukan Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.
c. Dalam mengajukan usulan tersebut pada butir b, Pengguna Barang harus menyampaikan perhitungan kuantitatif yang mencantumkan perbandingan keuntungan bagi pemerintah atas penyertaan modal dengan salah satu cara lain dalam pemanfaatan Barang Milik Negara
d. Pengelola Barang mengkaji kelayakan usulan Pengguna Barang untuk menentukan disetujui atau tidaknya usulan dimaksud.
e. Dalam hal usulan tidak disetujui, Pengelola Barang memberitahukan kepada Pengguna Barang disertai alasannya.
f. Dalam hal usulan disetujui, Pengelola Barang membentuk tim yang anggotanya terdiri dari Pengelola Barang, wakil dari instansi yang bertanggung jawab dalam pembinaan penerima penyertaan modal, serta dapat melibatkan wakil dari instansi teknis yang berkompeten dan wakil dari calon penerima penyertaan modal.
g. Tim bertugas untuk melakukan penelitian atas tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan penyertaan modal, serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan penyertaan modal tersebut.
h. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai tanah dan/atau bangunan yang akan dijadikan penyertaan modal
i. Penilai menyampaikan laporan hasil penilaian kepada Pengelola Barang melalui Tim.
j. Tim menyampaikan kepada Pengelola Barang laporan hasil pelaksanaan tugas termasuk usulan nilai Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai modal berdasarkan laporan hasil penilaian.
k. Berdasarkan laporan tim, Pengelola Barang menetapkan nilai Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai modal menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal.
l. Dalam hal penyertaan modal tersebut memerlukan persetujuan DPR, maka:
1) Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan kepada DPR;
2) berdasarkan surat persetujuan dari DPR, Pengelola Barang mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan.
m. Dalam hal nilai penyertaan modal di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Pengelola Barang mengajukan permintaan persetujuan kepada Presiden disertai rancangan peraturan pemerintah mengenai penetapan modal negara untuk ditetapkan Presiden.
n. Dalam hal nilai penyertaan modal di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), maka:
1). Pengelola Barang menerbitkan keputusan pelaksanaan penyertaan modal;
berdasarkan keputusan tersebut, Pengelola Barang menyampaikan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah pusat kepada Presiden untuk ditetapkan.
o. Setelah peraturan pemerintah tentang penyertaan modal telah ditetapkan, Pengelola Barang melakukan serah terima barang dengan penerima penyertaan modal pemerintah pusat, yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
p. Berdasarkan berita acara serah terima barang, Pengelola Barang menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara dari Daftar Barang Milik Negara.

3. Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan
a. Pengguna Barang melakukan inventarisasi Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan, yang direncanakan untuk dijadikan penyertaan modal pemerintah pusat, serta identifikasi pihak penerimaan penyertaan modal berdasarkan tujuan dan pertimbangan sebagaimana tersebut dalam butir II dan butir III.
b. Pengguna Barang melakukan persiapan penyertaan modal pemerintah pusat dengan membentuk tim internal yang bertugas antara lain:
1) Menyiapkan kelengkapan data administrasi sekurang-kurangnya meliputi:
. kartu identitas barang,
. daftar barang yang diusulkan dengan sekurang-kurangnya memuat jenis, jumlah, kondisi, harga dan tahun perolehan,
. surat penetapan status penggunaan Barang Milik Negara yang diusulkan.
2) Melakukan penelitian mengenai Barang Milik Negara yang akan disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat.
3) Menyampaikan laporan hasil kerja tim kepada Pengguna Barang.
d. Pengguna Barang mengajukan usulan penyertaan modal pemerintah pusat atas Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan tersebut dalam huruf a kepada Pengelola Barang, dengan disertai:
1) penjelasan/pertimbangan;
2) kelengkapan data administrasi;
3) hasil kajian tim internal; dan
4) perhitungan kuantitatif yang mencantumkan perbandingan keuntungan bagi pemerintah atas penyertaan modal dengan bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara.
e. Pengelola Barang melakukan kajian dan penelitian atas usulan Pengguna Barang untuk menentukan kesesuaian usulan dengan tujuan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir II dan butir III.
f. Pengelola Barang mengkaji usulan Pengguna Barang untuk menentukan disetujui atau tidaknya usulan dimaksud.
g. Dalam hal usulan tidak disetujui Pengelola Barang memberitahukan kepada Pengguna Barang disertai dengan alasannya.
h. Dalam hal usulan disetujui, Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat.
i. Pengguna Barang menindaklanjuti persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat dengan membentuk tim yang anggotanya terdiri dari unsur Pengelola Barang, Pengguna Barang, instansi teknis yang berkompeten, dan penerima penyertaan modal pemerintah pusat.
j. Tim bertugas untuk melakukan penelitian atas Barang Milik Negara yang akan dijadikan penyertaan modal, serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis dalam pelaksanaan penyertaan modal tersebut.
k. Dalam hal nilai perolehan Barang Milik Negara tersebut di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), maka:
1) Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat kepada DPR;
2) berdasarkan surat persetujuan dari DPR, Pengelola Barang mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan.
l. Dalam hal nilai perolehan Barang Milik Negara di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan penyertaan modal pemerintah pusat kepada presiden disertai, rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah untuk ditetapkan.
m. Dalam hal Barang Milik Negara dari awal perencanaan pengadaannya diperuntukan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat sesuai dokumen anggarannya, tidak diperlukan persetujuan DPR.
n. Setelah peraturan pemerintah tentang penyertaan modal pemerintah pusat ditetapkan, Pengguna Barang melakukan serah terima barang dengan penerima penyertaan modal pemerintah pusat yang dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
o. Berdasarkan berita acara serah terima barang, Pengguna Barang melakukan penghapusan dari Daftar Barang Pengguna dengan menerbitkan keputusan penghapusan Barang Milik Negara.
p. Pengguna Barang menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang disertai dengan berita acara serah terima barang dan keputusan penghapusan.
q. Berdasarkan laporan tersebut huruf j, Pengelola Barang menghapuskan dari Daftar Barang Milik Negara dengan menerbitkan keputusan penghapusan barang apabila barang tersebut ada dalam Daftar Barang Milik Negara.

MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI