Selasa, 03 Agustus 2010

PBB BPHTB

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
(PBB dan BPHTB)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakanterhadap obyek pajak berupa bumi dan atau bangunan. Pajak ini dilihat dari siapa yang memungut termasuk pajak pusat, tetapi persentase pembagian hasil penerimaannya lebih banyak diberikan ke daerah. Seiring dengan perkembangannya, maka Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sekarang banyak mengalami kemajuan menuju sistem perpajakan yang adil, sederhana dan memiliki kepastian hukum.
Dengan mengingat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Tanah yang memnpunyai fungsi sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa maupun bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang baik bagi orang pribadi atau badan yang memperoleh hak suatu hak atasnya, oleh karena itu wajar bila mereka yang memperolah hak atas tanah dan atau bangunan diwajibkan membayar pajak kepada Negara.
Bahwa terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku perludikenakan pajak dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


ISI
BAGIAN I
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
(PBB)

A. Pengertian Umum
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”. Bumi disini adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia, Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang,dll. Serta bagunan yang dimaksud adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll.
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
1.Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain,
2.Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3.Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4.Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5.Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
- memiliki bangunan, dan atau;
- menguasai bangunan, dan atau;
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat.
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan:
a.Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b.perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
c.nilai perolehan baru;
d.penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut:
a.Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
b.Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).Besarnya NJKP adalah sebagai berikut;
• Objek pajak perkebunan adalah 40%
• Objek pajak kehutanan adalah 40%
• Objek pajak pertambangan adalah 20%
• Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp. l .000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya Besarnya tarif PBB adalah 0,5%. Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP)
maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP)
= 0,2%x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP)
maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP)
= 0,1 %x (NJOP -NJOPTKP)
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Saat yang menentukan pajak terutang atau belum dibayar adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari.Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
B. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan atas Objek Pajak adalah tarif tunggal yaitu sebesar 0,5%. Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut:
• Objek pajak perkebunan adalah 40%
• Objek pajak kehutanan adalah 40%
• Objek pajak pertambangan adalah 40%
• Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
- apabila NJOP-nya > Rp. l.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp. l.000.000.000,00 adalah 20%.

C. Kelebihan Pembayaran PBB
1. Pengertian
Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah selisih antara pajak yang dibayar dengan pajak yang terutang. Kelebihan pembayaran PBB terjadi dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) lebih besar dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.
2. Penyebab Terjadinya Kelebihan Pembayaran
a. Perubahahan peraturan;
b. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan;
c. Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan;
d. Kekeliruan pembayaran.
e. Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan
a. Mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat Tagihan Pajak (STP).
b. Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat;
c. Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan objek pajak yang
dimohonkan berupa:
-fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan tentang Keberatan/Banding dan atau Surat Keputusan tentang Pemberian Pengurangan atau Surat Keputusan Pengadian;
-Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB.
d. Meminta tanda bukti penerimaan surat permohonan (yang sudah lengkap) dari pejabat Kantor Pelayanan PBB yang ditunjuk.
4. Pelaksanaan Pengembalian
a. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari WP,Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama harus menerbitkan :
- Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) PBB, apabila jumlah yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;
- Surat Pemberitaan (SPb), apabila jumlah yang dibayar sama dengan jumlah PBB yang
seharusnya terutang;
- Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila jumlah yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.
b.Kepala Kantor Pelayanan PBB atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama harus menerbitkan Surat Perintah pencairan Dana (SP2D) dalam jangka waktu1 (satu) bulan sejak diterbitkannya SKKPP.PBB.
c.Dalam hal WP mempunyai utang PBB atas objek lainnya dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama, maka kelebihan pembayaran PBB yang tercantum dalam SKKPP.PBB langsung diperhitungkan terlebih dahulu.
d.WP dapat mengajukan permohonan agar kelebihan pembayaran PBB diperhitungkan dengan penetapan PBB yang akan datang.
e.Atas sisa penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d, dapat diterbitkan SPMKP.PBB.
D. Penagihan PBB
1. Penagihan
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
2. Dasar Penagihan
Dasar Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan adalah :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
c. Surat Tagihan Pajak (STP)


E. Surat Ketetapan Pajak PBB
1. Pengertian
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).

2. Dasar Penerbitan SKP
SKP diterbitkan apabila :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :
1)tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP;
2)tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b.berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP;


3. Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP
a.Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
b.Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.


4. Cara Penyampaian SKP
SKP disampaikan kepada WP melalui :
a.Kantor Pelayanan Pajak Pratama, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
b. Kantor Pos dan Giro.
c. Pemerintah Daerah.

5. Batas Waktu Pelunasan SKP
SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKP diterima oleh WP.

F. Surat Pemberitahuan Objek Pajak
I. Pengertian
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang.

II. Hak Wajib Pajak
1.Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4), atau tempat lain yang ditunjuk.

2.Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4.

3.Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4.

4.Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah,dan lain-lain).

5.Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.

6.Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

III. Kewajiban Wajib Pajak
1.Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP

2.Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:
-Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir;
-Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
-Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.

3.Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.

4.Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
IV. Sanksi
a. Sanksi Administrasi
1)Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.

2)Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP degan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.
b. Sanksi Pidana
1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga. menimbulkan kerugian bagl negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2) Barang siapa karena dengan sengaja:
a.Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b.Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
c.Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
d.Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
e.Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda. Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,-


BAGIAN II
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
(BPHTB)

A. Pengertian Umum
1. Pengertian
1.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3.Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
2. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan hak karena
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.penggabungan usaha;
11.peleburan usaha;
12.pemekaran usaha;
13.hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
3. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
a.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b.Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c.Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d.Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e.Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4. Tarif Pajak
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
5. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a.Jual beli adalah harga transaksi;
b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.Hibah adalah nilai pasar;
d.Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan , dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
B. Cara Penghitungan BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah:
BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)

C. Pembayaran BPHTB
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).
D. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
E. Penagihan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1.pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2.dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3.wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar